- Penulis : M Kashai Ramdhani Pelupessy | Dosen dan Peneliti di Center of Islands Studies IAIN Ambon
TRANFORMASI IAIN Ambon menjadi UIN merupakan sebuah itikad baik untuk mengatasi kesenjangan dari penyerapan calon mahasiswa masuk ke dunia perguruan tinggi di Maluku. Kondisi pendidikan tinggi di Maluku saat ini, dalam konteks penyerapan calon mahasiswanya tampak timpang sekali. Dalam beberapa tahun terakhir, penyerapan calon mahasiswa tampak paling banyak masuk ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di kota Ambon, sementara animo calon mahasiswa untuk masuk ke Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) (baca: IAIN) tampak turun sekali.
Apa yang membuat situasi itu bisa terjadi? Mengapa bisa seperti itu? Padahal, dalam penyerapan calon mahasiswa ini ada batasnya, tergantung dari jumlah dosen yang mengajar di dalam perguruan tinggi terkait. Jika sebuah perguruan tinggi terlalu banyak menerima calon mahasiswa, sementara kondisi tenaga pengajarnya belum cukup memadai, maka yang terjadi ialah ketidakefektifan proses pembelajaran. Dampaknya ialah tujuan pendidikan tidak tercapai. Olehnya itu, transformasi IAIN menjadi UIN di Maluku adalah sebuah zeitgeist (semangat zaman) untuk mengatasi kesenjangan dari penyerapan calon mahasiswa tersebut, sekaligus untuk merealisasikan tujuan pendidikan kedepannya.
Animo calon mahasiswa yang terlalu membludak masuk ke salah satu PTN itu karena mengikuti kehendak lapangan kerja yang saat ini tersedia. Menariknya, PTN di lihat oleh para calon mahasiswa dapat memfasilitasi minat mereka sehingga kedepan dapat di terima secara efektif di dunia kerja. Sejumlah program-program studi yang ada di PTN di nilai dapat memfasilitas keinginan dari para calon mahasiswa tersebut. Sementara, program-program studi yang ada di bawah PTKIN (baca: IAIN) di kota Ambon tampak belum bisa menyanggupi minat para calon mahasiswa. Olehnya itu, para calon mahasiswa lebih banyak memilih masuk ke dalam PTN dibanding PTKIN.
Padahal, kalau diperhatikan saat ini program-program studi di IAIN Ambon juga bisa memfasilitas keinginan dari para calon mahasiswa untuk bisa terserap ke dunia kerja nantinya. Saat ini, beberapa program-program studi yang baru dibuka di IAIN Ambon ialah seperti Informatika, Sistem Informasi, Statistik, dan Pemikiran Politik Islam. Selain itu, masih ada banyak program-program studi lainnya di IAIN Ambon yang kedepan dapat memfasilitasi keinginan para calon mahasiswa untuk terserap ke dunia kerja nantinya. Tapi, apa yang membuat kehadiran program-program studi di IAIN tampak kalah saing dari PTN di kota Ambon?
Salah satu jawabnya ialah karena IAIN masih berstatus “institut” yang dalam pandangan ‘common sense’ bahwa status itu masih dibawah label universitas. Kata “universitas” ini masih terdengar “spektakuler”, punya daya magnet tersendiri. Masuk ke perguruan tinggi berstatus “universitas” ini dirasakan dapat mengangkat derajat seseorang di hadapan publik luas. Misalnya, ketika ditanya, “kau kuliah di mana?”, dijawab “saya kuliah di universitas bla bla bla…”. Bagi yang mendengar jawaban itu merasa bahwa dia orang “beruntung” dapat masuk ke universitas, selanjutnya dia pun di hargai. Realita ‘common sense’ seperti ini adanya.
Selain itu, apa yang membuat IAIN kalah saing dari PTN di kota Ambon dalam konteks penyerapan calon mahasiswa? Jawabannya ialah karena ada label Islam yang tersemat di dalam kata IAIN ini. IAIN atau Institut [Agama Islam] Negeri, kata [Agama Islam] ini saya beri tanda kurung untuk menegaskan sebuah persepsi dari sebagian masyarakat yang cenderung menilai perguruan tinggi itu — kalau masuk ke dalamnya — hanya akan diajarkan terkait Islam-nya saja. Sementara, pengetahuan umum tidak diajarkan di IAIN tersebut. Pandangan ini memang sangat problematis, dan memang sudah sewajarnya dipandang seperti itu karena IAIN belum juga ditransformasi menjadi UIN. Dalam kata lain, transformasi IAIN menjadi UIN adalah strategi untuk memecahkan kebuntuan dari pandangan problematis semacam itu.
Ketika IAIN bertransformasi menjadi UIN maka keharusan untuk melakukan integrasi sains dan Islam adalah sebuah keniscayaan. Tak bisa dipungkiri, bahwa integrasi sains dan Islam memang sudah sangat sesuai dengan tuntutan zaman saat ini. Bahwa masalah kehidupan yang dihadapi umat manusia saat ini memang tak bisa selamanya dipecahkan secara partikular alias dari satu sudut pandang spesifik saja, melainkan harus dipecahkan secara universal, integral, dan interdispliner-intradisipliner. Memadukan Islam dan sains adalah jawaban atas semua itu, yakni untuk memecahkan masalah yang tengah dihadapi umat manusia itu sendiri, tanpa terkecuali ialah masyarakat di Maluku.
Dengan integrasi sains dan Islam, maka IAIN tidak lagi dipandang sebagai perguruan tinggi yang sekedar mengajarkan agama Islam ‘an sich’ melainkan juga ilmu-ilmu umum. Integrasi ini bukan sekedar memberi dampak bagi cara berpikir para sarjana IAIN untuk fokus memecahkan problem kehidupan saja, tetapi juga secara aplikatif untuk menjawab masalah penyerapan para lulusan di dunia kerja nantinya. Namun, lagi-lagi, semua itu bisa terealisasi apabila IAIN (dalam hal ini adalah IAIN Ambon) bertransformasi menjadi UIN. Beberapa alasannya sudah saya jabarkan di atas, yakni mulai dari kesenjangan penyerapan calon mahasiswa, keharusan memfasilitasi minat para ulusan perguruan tinggi agar terserap di dunia kerja, sampai pada upaya memecahkan masalah pandangan ‘common sense’ terkait IAIN di Maluku.
Keharusan transformasi IAIN Ambon menjadi UIN tampaknya sudah senafas dengan kondisi real tenaga pengajar saat ini di IAIN Ambon. Para dosen di IAIN Ambon saat ini ada lulusan-lulusan yang bukan hanya jebolan PTKIN, melainkan juga paling banyak ialah jebolan PTN. Sehingga, diskursus ilmu-ilmu umum dan Islam sangat mewarnai dinamika kampus saat ini di IAIN Ambon. Olehnya itu, integrasi sains dan Islam sebagaimana yang telah saya jelaskan di atas sudah sangat senafas dengan kondisi real tenaga pengajar saat ini di IAIN Ambon. Selain itu, para Guru Besar yang ada di IAIN Ambon sudah sangat cukup menjadi alasan dilakukannya transformasi IAIN menjadi UIN. Saat ini, para Guru Besar di IAIN Ambon tidak hanya pakar dalam bidang kajian Islam, melainkan juga ada yang pakar di bidang ilmu-ilmu umum seperti Prof. Rijal adalah salah satu Guru Besar pada bidang Biologi. Itulah beberapa alasan dibalik keharusan IAIN Ambon bertransformasi menjadi UIN.
Terakhir, alasan yang paling masuk akal dibalik upaya transformasi tersebut ialah untuk memecahkan masalah segregasi sosial di Maluku. Saat ini, pasca konflik horizontal Maluku dari tahun 1999-2003, kondisi sosial telah mengalami segregasi. Muncul daerah Islam dan Kristen paling nyata dan sungguh terasa ada di kota Ambon. Segregasi sosial ini harus dipecahkan melalui pembaruan di dunia pendidikan, terutama pembaruan itu dilakukan di perguruan tinggi berlabel agama seperti IAIN Ambon dan IAKN Ambon. Transformasi kedua perguruan tinggi ini sangat penting untuk memecahkan segregasi sosial tersebut. Melalui transformasi IAIN Ambon menjadi UIN misalnya, maka hal ini akan membuka cakrawala berpikir masyarakat (baik dari muslim maupun nasrani) bahwa kampus berlabel agama itu tidak hanya mengajarkan Islam ‘an sich’ melainkan juga ilmu-ilmu umum, sehingga hal ini akan menarik para calon mahasiswa yang bukan hanya dari muslim melainkan juga dari agama nasrani untuk masuk ke UIN Ambon. Bukankah ini merupakan upaya mengatasi segregasi sosial yang masih terus menganga di Maluku? Jawaban dari saya, iya. (***)