ALMULUKNEWS.COM, – Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang larangan menggunakan Salam Lintas Agama mendapat kritik tajam dari sejumlah kalangan secara nasional. Salah satunya, dari akademisi Hukum IAIN Ambon, Dr. Nasaruddin Umar, SH., MH.
Dosen Fakultas Syariah IAIN Ambon ini menyatakan, Salam Lintas Agama jangan hanya dilihat dari aspek syariat saja, tapi harus dari aspek humanisme dalam toleransi kehidupan antar umat beragama di Indonesia.
Dalam perspektif hukum dan konstitusi di Indonesia, lanjut Nasaruddin, negara memberikan jaminan kepada tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan menjalankan agamanya masing-masing. Negara telah memberikan kebebasan itu untuk masing-masing agama untuk menjalankan agama sesuai dengan syariatnya, yang diatur dalam Pasal 29 Ayat 2. “Ini dari aspek konstitusi negara.”
Kemudian ada hak azasi manusia, yang dijamin dan dilindungi oleh negara. Memang, dalam menjalankan hak asasi manusia dan hak beragama, kata Nasaruddin, membutuhkan regulasi. Sayangnya, lanjut dia, di Indonesia belum ada undang-undang yang mengatur isu-isu tentang bagaimana hukum keagamaan dalam ruang publik.
“Misalnya, dulu ada rancangan RUU tentang kerukunan beragama. Sayangnya, RUU tersebut sampai kini belum disetujui dan belum menjadi program prioritas legislasi,” pungkas dia.
Apalagi, kalau ada pernyataan MUI menyebutkan Salam Lintas Agama sebagai tindakan haram, maka ini lebih keliru lagi. Harusnya, MUI melihat persoalan seperti ini dari aspek kebangsaan. Bukan dengan pendekatan syariat saja. Sebab, persoalan kebangsaan untuk menyelamatkan masyarakat secara umum. Indonesia, kata dia, merupakan negara yang menganut asas Pancasila, yang di dalamnya terdapat ruang toleransi antar umat beragama.
Ia berharap, MUI tidak serta merta mengeluarkan fatwa tanpa melihat duduk masalahnya kepada masyarakat secara umum. Ia mengusulkan kepada MUI agar bisa duduk bersama dengan Kemenag, untuk mendiskusikan kembali persoalan ini. Sehingga, masyarakat awam secara umum tidak gaduh dengan apa yang sudah ditetapkan oleh MUI, meski, keputusan fatwa MUI bukan regulasi, tapi, keputusan MUI dapat membangun alibi masyarakat. Kiranya, persoalan ini tidak berkepanjangan, agar masyarakat lintas agama tidak bias menerima keputusan yang telah dibuat oleh MUI sendiri.
Sementara dosen tafsir Fakultas Syariah lainnya, Dr. Rajab, M.Ag membeberkan, bahwa sentilan majelis fatwa MUI harus dievaluasi. Sebab, apa yang beredar di masyarakat tersebut bukan bagian dari fatwa tentang kondisi keumatan di Indonesia.
Rajab sendiri mengaku terlibat langsung dalam pembahasan persoalan ini. “Yang pertama tentu kita harus menunggu dulu format yang final dari perumusan fatwa ulama. Saya berada dalam Ijtima Fatwa Ulama ini. Kita fokus pada penggunaan bahasanya. Bukan Salam Lintas Agamanya.”
Sehingga, kata dia, sangat keliru kalau tiba-tiba ada orang yang menyebutkan fatwa haram Salam Lintas Agama. Salam Lintas Agama tidak dipersoalkan. Yang dipersoalkan, kata dia, terkait tata bahasa yang secara harfiah memiliki makna dan arti yang berbeda dengan Salam di dalam Islam. “Apalagi sampai dibilang haram. Kita hanya bahas bahasanya agar lebih mencerminkan toleransi beragama di Indonesia. Bukan melihat halal haramnya. Kalau halal dan haramnya dilihat dari posisi salam sebagai doa,” ketus ahli Tafsir ini.
Pembahasan juga kata Rajab pada boleh tidaknya penggunaan Salam Lintas Agama di daerah minoritas. Ia lalu mencontohkan di Papua dan Maluku. Tidak dapat dinafikan, kalau penggunaan Salam Lintas Agama sebagai upaya menjaga hubungan toleransi antar umat beragama sangat dibutuhkan. “Contohnya seperti di Maluku. Papua Tengah dan wilayah lainnya dengan jumlah penduduk beragama minoritas,” tutup dosen Pascasarjana IAIN Ambon ini, Rajab. (AL)