• Oleh: Muhammad Kashai Ramdhani Pelupessy
    • | Pegiat Moderasi Beragama dan Dosen Psikologi IAIN Ambon

KENANGAN masa silam yang buruk tidak boleh kita tutup. Itu merupakan pelajaran berharga bagi kita semua. Tanggal 19 Januari 1999 silam adalah waktu dimana Maluku dilanda konflik horizontal paling parah di abad modern. Korban yang berjatuhan sangat banyak. Yang paling rentan akibat konflik itu adalah perempuan dan anak-anak. Konflik horizontal telah menutup akses perekonomian mati total. Rutinitas kehidupan tampak berhenti sejenak.

Mengenang masa konflik itu tidak selamanya membuat kita mengalami trauma dalam arti negatif. Melainkan mengenang konflik itu justru membangkitkan trauma yang positif. Kerap saat kita mendengar istilah “trauma” maka kita cenderung menganggapnya negatif. Padahal, dalam studi-studi psikologi ada trauma yang positif. Trauma dalam arti positif ini dalam istilah psikologisnya disebut “post traumatic growth”.

Biasanya, orang-orang yang mengalami kejadian negatif seperti konflik akan membuatnya mengalami trauma negatif pasca kejadian diistilahkan PTSD (Post Traumatic Stress Disorder). Ini merupakan trauma dalam arti negatif. Trauma karena tidak bisa menerima situasi parah yang telah dialami sebelumnya. Individu yang mengalami trauma pasca kejadian seperti konflik cenderung membuatnya menutup diri dan tidak mau bersosial di kemudian hari.

Hal itu karena ada ketakutan, jangan sampai ia mengalami kejadian serupa di masa mendatang. Ironisnya, jika trauma pasca kejadian itu berada pada tingkat ekstrim maka akan bisa berujung pada tindakan bunuh diri. Olehnya itu, trauma pasca kejadian ini perlu diminimalisir melalui intervensi psikologis. Agar seseorang tidak mengalami trauma pasca kejadian, maka intervensi psikologis yang perlu diberikan adalah membangkitkan ‘post traumatic growth’.

Belakangan ini, saya sangat tertarik dengan istilah ‘post traumatic growth’ tersebut. Terkait hal itu sangat menarik untuk dipahami oleh mereka yang sempat mengalami trauma pasca konflik. Ini sangat relevan dengan konteks Maluku karena pernah mengalami bencana sosial (konflik horizontal) tahun 1999 silam. Kemampuan untuk menerima situasi parah yang pernah dialami sebelumnya adalah langkah awal menuju “post traumatic growth”.

Dalam beberapa studi psikologi seperti dilakukan Prof. Subandi salah satu guru besar UGM dalam bidang psikologi klinis mengatakan bahwa ‘post traumatic growth’ ini perlu ditelusuri pada mereka yang pernah mengalami kejadian traumatis. Apakah orang-orang yang dulunya pernah mengalami kejadian traumatis seperti konflik horizontal di Maluku itu — untuk sekarang ini — sudah berada di tahap ‘post traumatic growth’ atau belum?

Apa itu ‘post traumatic growth’ (selanjutnya disebut PTG)? Apa faktor yang membuat seseorang dapat mengalami PTG? PTG adalah istilah baru dalam psikologi yang menunjukkan bahwa trauma yang dialami seseorang justru positif. Menurut Prof. Subandi bahwa PTG sangat ditentukan oleh tingkat spiritualitas seseorang. Individu yang selalu pasrah kepada Tuhan akan mendorongnya masuk ke dalam gejala PTG ini.

Kepasrahan total kepada Tuhan cenderung membangkitkan kondisi emosionalitas seseorang untuk lebih menghargai kehidupan. Bahwa di dalam hidup ini pasti ada kesengsaraan dan kesenangan. Manusia selalu berada di antara dua pengalaman tersebut. Kadang manusia mengalami kesengsaraan, kadang juga mengalami kesenangan. Dua pengalaman hidup itu dalam kajian spiritualitas menyebutnya “sunnatullah” yakni pengalaman yang telah diridhoi oleh Tuhan Maha Esa.

Hal itu menunjukkan bahwa kejadian negatif seperti konflik Maluku tahun 1999 adalah bagian dari sunatullah yang patut dihargai karena mengandung banyak hikmah positif di dalamnya. Sebagai bagian dari sunatullah, maka konflik itu mengandung banyak hikmah positif di dalamnya. Misalnya, konflik itu akan membuat seseorang bertindak saling menghargai antar sesama di kemudian hari. Menghargai kejadian konflik secara positif itu merupakan ekspresi dari trauma yang telah berkembang ke arah positif yakni ‘post traumatic growth’.

Tidak hanya menghargai kehidupan, PTG juga mendorong individu melakukan permaafan. Meminjam ulasan Jacques Derrida terkait pengertian memaafkan, ia menjelaskan bahwa substansi dari memaafkan adalah kemampuan seseorang untuk memaafkan sesuatu yang sulit dimaafkan. Artinya, memaafkan itu tak sekedar kita mengulurkan tangan lalu mengatakan, “Saya memaafkan Anda”. Ini saya mengistilahkannya sebagai “memaafkan tipe bungkus”.

Justru, substansi memaafkan lebih daripada itu. Memaafkan adalah kemampuan seseorang menerima rasa sakit yang dideritanya secara sukarela lalu kemudian berusaha memaafkan orang lain yang menyakitinya secara sukarela pula. Ini saya mengistilahkannya sebagai “memaafkan tipe substansi”. Dengan memaafkan secara substantif maka seseorang akan bersungguh-sungguh memaafkan orang lain, situasi dan dirinya sendiri secara total.

Ulasan di atas itu menunjukkan bahwa PTG telah mendorong seseorang lebih bertindak positif pasca konflik. Bahwa konflik itu tidak selamanya membuat seseorang mengalami trauma secara negatif, melainkan justru lebih positif yakni menghargai kehidupan dan saling memaafkan. Sepertinya, saya melihat, bahwa pasca konflik Maluku tahun 1999 silam itu kini membuat masyarakat Maluku sedang bertumbuh menjemput ‘post traumatic growth’. Semoga. Sekian. (***)