• Oleh: M. Kashai Ramdhani Pelupessy
    • Akademisi IAIN Ambon

MEMBICARAKAN politisasi agama cenderung mengarahkan kita pada satu pernyataan penting bahwa, “Jangan pisahkan agama dari politik”. Seolah-olah agama merupakan bagian dari agenda politik. Karena itulah agama harus masuk ke ruang publik untuk melahirkan semacam aturan umum yang dipatuhi semua golongan. Ini merupakan agenda politik yang tampaknya harus kita letakkan sesuai konteksnya.

Satu hal yang harus kita pahami bahwa setiap ajaran agama itu ada yang bersifat universal dan partikular (cabang). Ajaran agama yang bersifat universal ini tentu akan diamini oleh semua orang. Ajaran universal setiap agama misalnya usaha menegakkan keadilan, menghadirkan kesejahteraan umum dan kemakmuran bersama. Semua agama pasti mengamini ajaran universal tersebut.

Sementara di sisi lain, ada juga ajaran agama yang bersifat partikular (cabang). Ajaran agama yang bersifat partikular ini lebih terkait tata cara peribadatan, mazhab, ordo, dan hal-hal yang masih mengandung banyak penafsiran sesuai konteks perubahan zaman. Mencermati dua sifat ajaran agama (universal dan partikular) tersebut, maka yang dimaksud dengan pernyataan “jangan pisahkan agama dari politik” adalah terkait memperjuangkan ajaran agama yang bersifat universal.

Bahwa dalam agenda politik, peran agama di ruang publik adalah memperjuangkan ajaran agama yang bersifat universal. Sementara memperjuangkan ajaran partikular adalah bagian dari agenda politisasi agama yang hal ini akan melahirkan konflik berkepanjangan. Sebab, tidak semua orang mengamini ajaran partikular tersebut. Apalagi di tengah situasi ruang publik yang sangat plural, tentu akan mengalami benturan apabila ajaran partikular itu terus dipaksakan menjadi agenda politik.

Tak sedikit kita perhatikan bahwa sebagian para politisi kita cenderung memperjuangkan ajaran partikular tersebut masuk ke ruang publik. Hal yang paling tampak dari perjuangan itu adalah munculnya Perda-Perda Syariah pada sejumlah daerah di Indonesia. Selain itu, memperjuangkan ajaran partikular ini juga bahkan mengarahkan kita sampai pada argumentasi bahwa, “Memilih calon pemimpin itu harus yang sealiran dan seagama”.

Padahal, memilih calon pemimpin berdasarkan kriteria yang ditetapkan juga masih mengandung banyak perdebatan di dalamnya. Misalnya dalam Islam sebagaimana pendapat Ibn Taimiyah terkait [Wa inna Allâh yuqîmu al-daulat al-‘ádilah wa in kánat kâfirah wa lá yaqûmu al-dhâlimah wa in kânat muslima] bahwa, “Allah membiarkan negara yang adil sekalipun di pimpin oleh orang kafir, dan Allah tidak membiarkan bertahannya negara zalim yang di pimpin oleh orang muslim”.

Sekilas argumentasi Ibn Taimiyah itu menunjukkan bahwa kepemimpinan tidak tergantung pada soal kriteria apakah muslim atau non-muslim. Melainkan kepemimpinan itu tergantung pada usaha menegakkan keadilan dan memperjuangkan kesejahteraan bersama sebagaimana agenda ajaran universal dari setiap agama. Dengan demikian, pernyataan “jangan pisahkan agama dari politik” ini lebih terkait agenda memperjuangkan ajaran universal bukan partikular.

Usaha memperjuangkan ajaran universal agama dalam agenda politik ini sangat selaras dengan kondisi kita yang masih jauh dari keadilan dan kemakmuran bersama. Di Maluku misalnya tingkat kemiskinan masih tinggi dan belum teratasi. Belum lagi masalah stunting di Maluku masih berada pada angka 26,1% di atas rata-rata nasional 21,6%. Masalah pembangunan di Maluku juga tampaknya masih belum berorientasi ‘indigenous people’. Dan masih ada banyak problem lainnya yang belum teratasi.

Olehnya itu, memperjuangkan ajaran universal agama dalam agenda politik tak pernah ada kata akhir (never ending process). Sebagaimana ajaran universal setiap agama ini diamini semua orang, maka disitu ada persatuan, kolaborasi, kerjasama kolektif, prososial, dan solidaritas untuk menegakkan keadilan dan menciptakan kemakmuran bersama. Ibarat rujak Natsepa, beragam jenis buah bersatu menjadi satu kesatuan utuh menjadi hidangan lezat disantap semua orang.

Rujak Natsepa merupakan metafor dari persatuan dan kolaborasi tersebut, sebagaimana spirit dalam ajaran universal agama yang diamini semua orang juga butuh kolaborasi dan persatuan. Bayangkan, jika kita makan rujak Natsepa itu kelebihan buah mangga misalnya, tentu kita rasa kurang lezat. Hal ini karena mangga terlalu mendominasi persis seperti agenda politisasi agama, ini tentu sangat tidak enak untuk disantap. Yang kita butuh itu adalah kolaborasi dari semua jenis buah menjadi satu yakni rujak Natsepa, ini enak, persis seperti semua orang mengamini ajaran universal agama dalam agenda politik, ini lezat.(***)