HUMAS IA, AMBON — Mengawali proses perkuliahan Semester Ganjil Tahun Akademik 2024/2025, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon menggelar Kuliah Umum dengan narasumber tunggal, Wakil Direktur Pascasarjana IAIN Ambon, Dr. Abdull Manaf Tubaka, M.Si. Kuliah Umum ini berlangsung di Gedung Auditorium IAIN Ambon pada Senin, 3 Maret 2025, dan dibuka secara resmi oleh Rektor, Dr. Abidin Wakano, M.Ag.

Dalam sambutannya, Rektor IAIN Ambon, Dr. Abidin Wakano, M.Ag., menekankan pentingnya memperkuat pemahaman akademik yang berbasis integrasi ilmu dan nilai-nilai keislaman. “Kampus ini harus menjadi ruang dialektika ilmu yang terus berkembang, tidak hanya dalam aspek akademik tetapi juga dalam pemahaman keberagaman budaya yang selaras dengan ajaran Islam,” ungkapnya.

Rektor juga mengajak mahasiswa dan dosen untuk terus aktif dalam kajian-kajian kritis yang mampu memberikan solusi bagi tantangan sosial dan budaya di era modern.

Sementara itu, Dr. Abdul Manaf Tubaka, M.Si., dalam materinya yang berjudul “Dialektika Islam dan Budaya Lokal: Tawaran Jalan Paradigma Kritis”, menjelaskan bahwa hubungan antara Islam dan budaya lokal merupakan bentuk interaksi yang telah berlangsung selama berabad-abad. Dalam pengantar materinya, ia menegaskan bahwa dialektika Islam dan budaya lokal dimaksudkan untuk memperkenalkan hubungan antara Islam sebagai tradisi besar (great tradition) dan budaya lokal sebagai tradisi kecil (little tradition).

Materi ini dijabarkan dalam tiga pendekatan utama. Pertama, studi antropologi yang memandang agama sebagai salah satu unsur kebudayaan yang dapat dipelajari dari berbagai perspektif, seperti evolusi, fungsi, dan peran, termasuk agama Islam. Kedua, proses enkulturasi pesan Al-Qur’an melalui pendekatan ruang dan waktu (asbab an-nuzul), yang memungkinkan Islam beradaptasi dengan realitas budaya setempat. Ketiga, teori models of reality dan models for reality yang dikemukakan oleh Clifford Geertz (1973), yang menggambarkan bagaimana sistem simbol dalam Islam dapat beradaptasi dengan pola budaya lokal dan membentuk internalisasi nilai-nilai Islam dalam berbagai pranata sosial budaya.

Menurut Dr. Abdul Manaf, interaksi antara Islam dan budaya lokal telah menghasilkan fakta pluralitas keberagamaan yang variatif, yang telah berlangsung sejak abad ke-7 M ketika Islam lahir di tanah Hijaz. “Misalnya, kita mengenal berbagai bentuk Islam seperti Islam Arab, Islam Nusantara, Islam Maroko, Islam Ambon, Islam Seram, Islam Hatuhaha, Islam Key, dan sebagainya. Semua ini menunjukkan bahwa Islam memiliki kemampuan adaptasi dengan budaya lokal tanpa kehilangan esensi ajarannya,” ujarnya.

Sebagai penutup, Dr. Abdul Manaf mengutip pesan dari KH. Abdurrahman Wahid yang menyatakan bahwa Islam datang bukan untuk mengubah budaya leluhur menjadi budaya Arab. “Bukan untuk ‘aku’ jadi ‘ana’, ‘sampeyan’ jadi ‘antum’, ‘sedulur’ jadi ‘akhi’. Kita pertahankan milik kita, kita harus serap ajarannya, tapi bukan budaya Arabnya.”

Kuliah umum ini diikuti oleh ratusan mahasiswa dan dosen yang antusias mengikuti pemaparan materi serta diskusi yang berlangsung setelahnya. Acara ini diharapkan dapat membuka wawasan akademik dan memperkuat pemahaman Islam yang lebih inklusif dan kontekstual dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat. (*)