Oleh | Prof. Hasbollah Toisuta | Direktur Pascasarjana IAIN Ambon | Ketua Yayasan Sombar Negeri Maluku

DALAM percakapan informal bersama Prof. Shaleh Putuhena (alm.) sekira 20 tahun silam, saya mencoba mempercakapkan bersama beliau beberapa dimensi sejarah budaya orang Maluku yang bagi saya belum mendapati pemahaman utuh, misalnya tentang berbagai term budaya yang kerap kita gunakan sebagai simbol budaya orang Maluku. Oh iya, percakapan dengan Pak Shaleh (panggilan akrab saya) itu dalam rangka kepentingan riset saya mengenai “Konflik dan Integrasi Masyarakat Maluku dalam Perspektif Historis dan Religio-politik”.

Salah satu tema menarik dalam percakapan ini adalah berkaitan dengan “akar budaya” orang Maluku. Menurut Pak Shaleh, sulit merekonstruksi apa yang disebut “budaya Maluku” sepanjang kita belum memahami akar budaya Maluku itu sendiri. Bagi Pak Shaleh orang yang sering membincangkan budaya – dari cabangnya – dengan tidak memahami akar budayanya dia akang mengalami apa yang disebutnya dengan “tunggakan budaya”.

Dari sisi filsafat, akar budaya dimaksud adalah aspek ontologi dari bangunan pengetahuan kita – tentang budaya – atau dengan kata lain hakikat dan esensi dari pengetahuan tentang objek yang dikaji. Dengan begitu, budaya orang Maluku atau budaya “orang Basudara” di Maluku titik berangkatnya dimulai dari memahami hakikat budaya Maluku itu sendiri. Lalu apa yang dimaksud dengan, atau apa yang merupakan “akar budaya Maluku” tersebut? Dari berbagai referensi yang sempat diakses kita menemukan bahwa akar budaya masyarakat Maluku adalah apa yang kita kenal dengan ungkapan “Siawlima”. Siwalima ini kemudian diadopsi menjadi simbol bagi Provinsi Maluku (bisa dilihat pada bendera lambang Provinsi Maluku). Istilah ini merujuk kepada persatuan dalam keberagaman. Namun dalam konteks budaya, Siwalima merafleksikan hubungan persekutuan adat dan pengelompokan sosial antara pengelompokan siwa (sembilan) dan lima (tentang kelompok Siwa dan Lima [Soa – Siw, pata siwa – pata lima, uli siwa – uli lima, ur siw – lor lim] – dengan segala ciri khas dan simbol-simbolnya, saya tidak membahas ini lebih jauh). Siwa dan Lima, menurut para budayawan Maluku adalah sebuah mekanisme sosial (social mecanism) yang berfungsi menjaga keseimbangan masyarakat. Karena itu Siwalima adalah bersifat monodualisme, yakni satu dalam perbedaan. Bahwa meskipun masyarakat Maluku majemuk, pada hakikatnya mereka adalah satu kesatuan dengan semesta nilai yang melingkupinya.

Dari ontologi ke kosmologi

Dari akar budaya Siwalima yang bersifat monodualisme (dua dalam satu kesatuan) tersebut selanjutnya membentuk world view (pandangan dunia) atau kosmologi orang Maluku. Dunia dalam kosmologi orang Maluku hanya terbagi dua yaitu atas dan bawah. Atas merepresentasikan langit, bawah merepresentasikan bumi. Atas juga merepresentasikan darat, bawah merepresentasikan laut. Dalam ungkapan sehari-hari orang Maluku biasa menyebut ka lau-ka dara, ka atas ka bawa (maksudnya ke laut ke darat, ke atas ke bawah). Dari kosmologi ini menunjukan bahwa orang Maluku tidak mengenal arah mata angin. Yang diketahui hanya atas bawah atau darat dan laut. Itu sebabnya bila anda orang Maluku datang ke Jawa misalnya, anda nyasar dan tidak tahu jalan dan mencoba menanyakan alamat yang dituju ke orang Jawa, dan ketika orang Jawa tersebut mengarahkan anda ke alamat yang dituju dengan mengatakan: “mas dari sini trus ke selatan lalu lurus ke utara dan di pertigaan mas ke arah timur”, maka orang Maluku mendengar jawaban seperti ini pasti blank. Mengapa ? Karena kosmologi yang membentuk pandangan dunianya haya dua bagian saja ” ka lau – ka dara (laut-darat), ka atas – ka bawa (atas – bawah)”. Sebaliknya, bila orang Jawa nyasar di Ambon dan mendapat petunjuk arah dari bapa-bapa Ambon: _”Ale turun lurus-lurus ka bawah, lalu ale putar kanan, trus ale naik ka atas lalu turun”, nah di situ tempatnya”. Jawaban seperti ini pasti membingungkan orang Jawa, karena kosmologi orang Jawa terbentuk berdasarkan arah mata angin.
Pandangan dunia yang menunjukan perspektif berbeda seperti ini sesungguhnya mengkonfirmasi teori Franz Boas mengenai relativisme budaya, bahwa nilai, norma dan praktek budaya suatu masyarakat harus dipahami dan dievaluasi berdasarkan konteks budaya mereka sendiri tidak berdasarkan standar budaya kita. Tidak ada budaya superior dan inperior. Karena setiap budaya memiliki nilai dan sistemnya yang khas.

Dari Monodualisme Kosmologi ke Monodualisme Salam-Sarane

Siwalima sebagai akar budaya orang Maluku menurunkan struktur pengelompokan sosial yang kita kenal dengan berbagai penyebutan seperti pata siwa, pata lima, uli siwa, uli lima, ur siw lorlim. Umum negeri-negeri adat di Maluku terbentuk dalam pengelompokan tersebut dengan ciri-cirinya yang khas. Dengan demikian ada negeri-negeri yang bercirikan patasiwa dan ada pula patalima. Meskipun berbeda namun siwa dan Lima adalah satu kesatuan (monodualisme).

Seturut dengan kosmologi yang membagi dunia dalam dua bagian (laut – darat [ka lau – ka dara], atas – bawa [ka atas – ka bawa]), maka struktur pengelompokan sosial tadi terrepresentasikan ke dalam kosmologi orang Maluku, yaitu kelompok bawah adalah kelompok patasiwa dan kelompok atas adalah kelompok patalima (harap tidak dilihat dengan pendekatan kelas sosial ala Marx yang melihat pengelompokan sosial berdasarkan kapital: atas kelas borjuis, bawah kelas proletar).

Untuk merawat persaudaraan dari pengelompokan sosial tersebut dan menjaga keseimbangan alam (atas-bawah, laut darat), para leluhur membuat berbagai mekanisme sosial yang berfungsi sebagai safety net (jaring pengaman), seperti pala-gandong, wari-wa, larvul-ngabal, lorlebay, kidabela, kaiwait dan lain sebagainya. Dengan begitu tertib sosial bisa diwujudkan. Maka dari titik inilah lahir konsep “Orang Basudara”. Karena itu terminologi “Orang Basudara” bukanlah mistik, melainkan memiliki akar budaya yang menghujam dalam sejarah masyarakat Maluku dan terus mengalami transformasi.

Abad XV dan XVI, agama-agama impor (baca Islam dan Kristen) mulai merambah wilayah Maluku. Kedatangan agama-agama baru ini sedikit banyaknya memengaruhi aspek budaya orang Maluku. Islam sebagai agama yang pertama singgah di Maluku merambah wilayah atas dari Utara di Ternate dan dilanjutkan kemudian dengan Agama Kristen yang mengambil penyebarannya di wilayah bawah, Selatan (Steenbrik: 2006), maka terjadi sebuah tata sosial baru dalam perjumpaan – masyarakat lokal pata siwa dan pata lima – penganut kedua agama baru ini dimana akar budaya Siwa-lima bertransformasi menjadi budaya Salam – Sarane (Islam – Kristen).

Dalam budaya Salam – Sarane, kesadaran akan pandangan dunia (world view) terhadap kesatuan dalam perbedaan (monodualisme) sama sekali tidak pernah berubah. Budaya “Orang Basudara” lebih mendapat momentumnya pada hubungan pela-gandong, aini ain, wari wa, kaiwait, kidabela, kalwedo dan sebagainya yang sangat fungsional dalam merawat hubungan persaudaraan. Sampai pada saatnya ketika negara (Orde Baru) secara hegemonik “memberangus” nilai-nilai local genuine ini melalui berbagai paket regulasi yang menyeragamkan (baca: memaksakan) tradisi budaya luar yang tidak senyawa dengan local genuine orang Maluku. Akibatnya adalah kearifan hidup masyarakat Maluku dalam waktu yang relatif lama mengalami kehilangan spirit sucinya serta menyusut pula daya rekat sosialnya. Dari pendekatan struktur menjelaskan bahwa Negara mempunyai andil dalam mendistorsi budaya Maluku. Itulah sebabnya mengapa pasca Konflik orang Maluku secara romantis merindukan kembali akan nilai-nilai hidup “Orang Basudara” tersebut? Pertama, karena mereka ingin kembali ke fitrah primordialnya sebagai Orang Basudara (Salam –Sarane) yang di sana laeng sayang laeng, laeng tongka laeng, aini ain, kalwedo, lor lebai, kaiwait dengan segenap semesta nilainya. Kedua, muncul kesadaran bahwa negara abai dalam merawat kearifan hidup Orang Basudara di Maluku. Problema tapal batas negeri yang berlarut-larut tidak terelesaikan, masalah pemerintahan lokal (penetapan Raja negeri-negeri adat) yang sering menciptakan konflik internal negeri, semua ini berimplikasi pada tercerabutnya kearifan hidup yang hanya bisa ditebus dengan ongkos sosial yang mahal.

Urgensi Revitalisasi

Meminjam ungkapan Giddens, bahwa dalam masyarakat pra-modern, tradisi menyediakan sebuah tindakan yang relatif tetap namun juga melibatkan proses rekonstruksi yang aktif. Artinya, sebuah nilai budaya yang memiliki horizon pada akarnya dia tetap konstan namun bisa direkonstruksi atau direvitalisasi. Pada titik ini konsep Orang Basudara tetap harus dipertahankan namun perlu direkonstruksi pran dan maknanya lebih dalam untuk merespon dinamika masyarakat Maluku. Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa tidak ada kebudayaan yang final. Setiap budaya adalah relatif dan nisbi sehingga selalu berkembang dan terbuka untuk diinterpretasi atau bahkan direvitalisasi.

Proses revitalisasi budaya biasanya mengambil dua bentuk. Pertama, yang kita sebut dengan remaking. Dimaksud dengan remaking yaitu proses pembentukan ulang atau rekonstruksi elemen budaya untuk menciptakan sesuatu yang baru dan relevan dengan kebutuhan zaman. Proses ini sering melibatkan adaptasi, interpretasi atau penggabungan elemen budaya lama dengan budaya baru melalui inovasi agar bisa tampak baru atau modern.

Yang kedua biasanya disebut invention yaitu menciptakan unsur budaya baru yang belum pernah ada sebelumnya. Ini bisa berupa alat, gagasan atau metode yang dihasilkan oleh individu atau kelompok. Penemuan baru itu menjadi bagian dari budaya ketika mendapat pengakuan dan penerapannya dalam masyarakat luas.

Pada perspektif di atas, kita dapat mempercakapkan apakah konsep budaya “Orang Basudara” perlu direvitalisasi melalui pola remaking, atau kita tinggalkan budaya “Orang Basudara” tersebut dan menciptakan konsep “persaudaraan baru” entah apa namanya yang lebih adaptif dengan perubahan zaman saat ini melalui pola invention.

Dalam tradisi Islam ada kaidah fiqh yang berbunyi _Almukhafazhatu ala al qadiem as-shalih, wal akhzu bi al jadied ashlah_ (mempertahankan warisan lama yang baik dan mengadopsi nilai-nilai baru yang lebih baik). Kaidah fiqh ini memandang budaya sebagai sesuatu yang bersifat continuitas, bahwa setiap aspek kebudayaan selalu ada relevansi dengan zamannya karena itu proses pembaharuan tidak semestinya mendelegitimasi nilai-nila budaya lama yang positif.

Terlepas dari itu semua, pendekatan sturuktur juga tidak bisa diabaikan. Negara harus hadir memberikan jaminan kepastian terhadap berbagai problematika yang dihadapi masyarakat local, memastikan kesejahteraan dan keadilan, menyelesaikan hak-hak ulayat masyarakat, melindungi Hak-Hak asasi Manusia dan lain sebagainya. (***)