• Oleh: M. Kashai Ramdhani Pelupessy
    • *** Peneliti Psikologi di Pusat Studi Masyarakat Kepulauan IAIN Ambon

DETIK-DETIK menuju 14 Februari 2024 semakin hangat. Iklim demokrasi kita “alhamdulillah” berjalan sesuai harapan. Orkestra Debat Capres kemarin malam adalah buktinya. Semua mata tertuju, menonton proses debat itu hingga selesai. Ini luar biasa. Di berbagai kanal media sosial sangat ramai cuitan pembelaan terhadap kandidat tertentu sebagai idolanya. Antusias masyarakat secara kolektif menyaksikan proses debat kemarin malam itu sebagai simtom bahwa demokrasi kita sedang berjalan ke arah lebih baik.

Terlepas dari euforia politik semacam itu, ada satu fenomena yang menurut saya sangat menarik. Fenomena ini marak dirasakan hampir sebagian besar para calon pemilih. Baik itu generasi baby boomer, milenial bahkan generasi Z yang terkontaminasi informasi lewat sosmed tampak terpancing rasa emosionalnya (merasa kasihan). Iseng-iseng saya bertanya ke para calon pemilih, “Apa yang anda rasakan setelah menonton debat capres semalam?”. Rata-rata jawaban mereka, “Saya merasa kasihan dengan pak Prabowo”.

Fenomena merasa kasihan itu tak hanya saya perhatikan pasca debat kemarin malam, bahkan pada debat pertama juga sudah membuat para calon pemilih merasa iba. Pada debat pertama, para calon pemilih lebih merasa iba dengan pak Anies Baswedan. Sementara pada debat ketiga kemarin malam, para calon pemilih berbalik merasa iba kepada pak Prabowo. Sementara yang paling diuntungkan tampaknya adalah pak Ganjar.

Mencermati fenomena tersebut, saya lalu membayangkan bagaimana Indonesia ke depan? Bagaimana jika pada saat pencoblosan 14 Februari 2024 mendatang, para pemilih mencoblos atas dasar “rasa kasihan”. Pas ditanya, “Mengapa Anda pilih pak Prabowo? Atau pak Anies? Atau pak Ganjar?”. Jawabannya, “Karena merasa kasihan”. Apakah Indonesia ke depan akan dibangun atas dasar rasa kasihan itu?

Mayoritas pemilih kita adalah generasi Z dan milenial. Ironinya, mayoritas pemilih itu paling tinggi mengalami masalah ‘mental health’. Pew Research Center, salah satu lembaga riset paling terkenal di dunia pernah melaporkan bahwa hampir 70% remaja dari berbagai ras menderita kecemasan dan depresi. Dua variabel psikologis tersebut (kecemasan dan depresi) merupakan bagian dari gangguan emosional yang kerap di derita generasi Z dan milenial akhir-akhir ini.

Hal itu menunjukkan bahwa aspek emosional merupakan bagian penting dari kondisi psikologis generasi Z dan milenial. Olehnya itu, apabila ada informasi yang membangkitkan rasa emosionalnya maka mereka langsung mudah terpancing dan bereaksi mengekspresikan sisi emosionalitasnya tersebut. Entah dalam bentuk depresi, cemas, marah, rasa kasihan, simpati, bahkan empati.

Saya perhatikan pasca debat capres kemarin malam, gejala psikologis yang paling tampak dari mayoritas pemilih (generasi Z dan milenial) adalah merasa simpatik alih-alih kasihan. Pada bagian tertentu, rasa simpati ini penting. Merasa kasihan itu wajar. Ini karena manusiawi. Dalam kata lain, kalau kita tidak punya rasa kasihan, tentu kita tidak akan menolong orang lain. Jadi, simpati atau rasa kasihan ini penting. Tapi, di tengah pesta demokrasi, sindrom merasa kasihan ini — dalam pandangan saya — tampak aneh. Mengapa?

Tujuan dari demokrasi adalah kontestasi beragam pikiran alternatif diskusikan secara rasional, sehingga yang paling ditekankan dalam hal itu adalah menonjolkan rasionalitas publik. Saat ini, rasionalitas publik kita tampak tumpul karena yang ditampilkan oleh elit politik kita lebih cenderung membangkitkan sisi emosionalitas publik demi meraup suara elektoral. Ini sangat aneh.

Sementara yang diharapkan oleh kita semua adalah bagaimana visi-misi para kandidat itu benar-benar tertanam ke dalam rasionalitas publik. Sehingga ketika mayoritas pemilih melakukan pencoblosan, ini karena atas dasar pilihan rasionalitas bukan semata-mata merasa iba atau kasihan. Coba Anda bayangkan, bagaimana jika nantinya Indonesia dibangun atas dasar “rasa kasihan” itu? Apakah kemajuan dapat dicapai? Kekhawatiran kita adalah jangan sampai karena atas dasar rasa kasihan itu sehingga kita memilih pemimpin yang buruk di masa mendatang.

Satu pesan yang sangat menarik dari Ali bin Abi Thalib adalah, “Jangan ambil keputusan di saat Anda marah [merasa kasihan — tambahan penulis], dan jangan berjanji di saat Anda bahagia”. Pesan ini sangat penting. Olehnya itu, yang sangat diharapkan oleh kita semua adalah pada saat mengambil keputusan untuk memilih calon kandidat tertentu perlu didasarkan atas pertimbangan rasionalitas. Selain itu, yang kita harapkan juga adalah agar para kandidat lebih menonjolkan visi-misi dalam proses mempengaruhi rasionalitas publik dibanding membangkitkan emosionalitas publik. Ini yang sangat diharapkan dalampesta demokrasi.(***)