M Kashai Ramdhani Pelupessy | Dosen Psikologi IAIN Ambon

Oleh: M Kashai Ramdhani Pelupessy | Dosen Psikologi IAIN Ambon

MESKIPUN hujan sejak malam hingga detik ini belum juga reda, itu tak menyulut aktivitas kita di Kota Ambon. Barusan, saya coba turun ke kota menggunakan kendaraan roda dua alias motor (kata orang di sini). Sepanjang perjalanan, satu hal yang paling mengusik perhatian saya mulai dari dulu hingga sekarang adalah masalah sampah.

Hingga sekarang, saya belum menemukan jawaban yang pasti. “Mengapa masalah sampah di kota ini tak pernah terselesaikan?”. Walaupun setiap periode selalu terjadi pergantian pimpinan daerah di kota ini, tetap saja masalah sampah tak pernah terselesaikan secara tuntas.

Apakah masalah sampah ini merupakan efek dari ketidakbecusan pemerintah daerah dalam menanganinya? Bagi saya, ketika kita cenderung mencari penyebab utama dibalik masalah sampah itu lalu ujung-ujungnya menyalahkan pemerintah ini sebetulnya tidak fair. Begitupun ketika kita menyalahkan masyarakat karena membuang sampah secara sembarangan ini juga tidak adil.

Masalah sampah adalah masalah kolektif, bukan masalah individu per individu, kelompok per kelompok, apalagi menyangkutkannya dengan ketidakbecusan pemerintah dalam mengelolanya. Problem kita secara kolektif mengenai masalah sampah ini karena kita belum benar-benar merasa resah karenanya. Yaa… saya pikir itulah penyebab utamanya. Kita belum betul-betul merasa resah dengan masalah sampah ini.

Keresahan kita mengenai masalah sampah ini masih sebatas musiman. Kalau belum masuk musim hujan maka kita buang sampah secara sembarangan itu wajar, lalu pemerintah membiarkannya begitu saja karena belum dekat dengan momen Pilkada. Nanti kalau sudah musim hujan itu tiba baru kita mulai merasa resah, mengapa banyak sekali sampah berserakan di jalan? Dan pemerintah juga mulai resah karenanya.

Keresahan semacam itu adalah keresahan yang masih sebatas musiman. Mengapa keresahan kita masih sebatas musiman? Ini patut untuk kita pertanyakan, dan sejujurnya pertanyaan itu sungguh menarik untuk dicari jawabannya.

Ulasan di atas saya mulai dengan pertanyaan, “Mengapa kita belum betul-betul merasa resah? Apa yang membuat kita menjadi resah?”. Secara logika, satu hal yang membuat kita mulai merasa resah adalah karena kita kehilangan sesuatu yang sangat kita bangga memilikinya. Misalnya saat kita kehilangan barang-barang berharga seperti motor, emas, dan lainnya, maka itu akan membuat kita merasa resah. Begitupun juga saat kita kehilangan orang tua, kita juga merasa resah.

Keresahan yang kita alami adalah karena ada sesuatu yang hilang dari diri kita. Sesuatu yang sangat kita banggakan. Sesuatu yang sangat kita banggakan itu karena sudah menjadi identitas diri kita, yakni bagian dari diri kita yang paling berharga. Sehingga ketika identitas diri kita itu terusik maka kita mulai merasa resah.

Sekarang, saya turunkan logika semacam itu ke dalam persoalan sampah. Apa yang membuat kita resah karena adanya sampah itu? Jawabannya ialah karena kita kehilangan sudut pandang terhadap kesehatan dan kedamaian hidup di kota.

Salah satu aspek yang sangat kita banggakan saat tinggal di kota adalah keinginan kita untuk bisa hidup damai dan sehat. Bukankah dua aspek itu yakni hidup damai dan sehat merupakan bagian dari identitas kolektif kita semua saat hidup di kota? Ya, jawabannya pasti semua menginginkannya.

Namun, kedua aspek itu telah terusik dengan hadirnya sampah sehingga kita cenderung resah karenanya. Keresahan itu muncul karena kita merasa telah hilang kedamaian dan kesehatan hidup di kota sehingga cenderung membuat kita resah terhadap persoalan sampah. Keresahan seperti inilah yang kemudian bersifat laten bukan musiman.

Pertanyaan adalah apakah kita secara kolektif sudah merasa resah seperti itu? Saya kira, kita belum benar-benar merasa resah, sehingga persoalan sampah yang mulai memburuk di musim hujan tak pernah terselesaikan hingga detik ini. (***)