Catatan : Prof. Dr. La Jamaa, MH.I | (Guru Besar IAIN Ambon)

A. Tinjauan Syariat

MURUR secara etimologis (luhawiyah) berasal dari akar kata dalam bahasa Arab, marrara-yumarriru, yang bermakna melintas, lewat atau perjalanan . Secara terminologis, murur adalah skema jemaah haji Indonesia yang dibawa melintasi area Muzdalifah, para Jemaah tetap di dalam bus (tanpa singgah dan bermalam di Muzdalifah, kemudian bus melanjutkan perjalanan hingga Mina. Dengan demikian dapat diungkapkan bahwa murur bermakna mabit (bermalam) di dalam bus pada saat berada di atau melewati Muzdalifah (https://yppnurullatif.or.id/makna-murur-dalam-ibadah-haji-2024/).

Menurut Majelis Tarjih Muhammadiyah bahwa skema murur di Muzdalifah dibolehkan sebagai solusi terhadap kepadatan Jemaah haji yang semakin meningkat tiap tahun. Apalagi pada tahun 2024 problemnya semakin kompleks sebab sebanyak 21% Jemaah haji dari Indonesia merupakan kelompok lanjut usia, rentang sakit dan difabel. Di samping itu kepadatan Jemaah yang berbanding terbalik dengan ruang gerak yang sempit akan meningkatkan potensi masalah kesehatan terhadap Jemaah haji lansia, rentan sakit dan difabel (https://kemenag.go.id/nasional/fatwa-majelis-tarjih-muhammadiyah-jika-udzur-syar-i-murur-jadi-rukhshah-dan-tidak-kena-dam-PTQjM).

Hal senada hasil Musyawarah Pengurus Besar Harian Syuriyah Nahdhatul Ulama, memutuskan bahwa sah hukumnya melakukan mabit di Mazdalifah secara murur, jika murur di Muzdalifah itu melewati tengah malam tanggal 10 Dzulhijjah, sebab telah mencukupi syarat berdasarkan pendapat yang mewajibkan mabit di Muzdalifah (https://ntt.kemenag.go.id/berita/527176/pbnu-sebut-mabit-di-muzdalifah-dengan-murur-hukumnya-sah-ini-penjelasannya).

Mabit di Muzdalifah secara murur merupakan rukhshah atau dispensasi untuk menghindari bahaya. Hal itu diisyaratkan dalam QS al-Baqarah: 195
وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”

Ayat ini melarang hamba-Nya baik secara person maupun kelompok membiarkan dirinya jatuh dalam bahaya. Meskipun pelaksanaan mabit secara ‘azimah merupakan bagian dari wajib haji namun jika pelaksanaan mabit secara ‘azimah tersebut dikuatirkan dapat menimbulkan bahaya terhadap jemaah haji Indonesia, maka bahaya tersebut harus dihindari.

Kebijakan mabit di Muzdalifah secara murur dilakukan untuk menghindari potensi bahaya yang akan dialami Jemaah haji Indonesia. Hal ini sejalan dengan hadis Nabi saw: laa dlarara walaa dlirara (janganlah membahayakan orang lain atau membahayakan diri sendiri/HR Al Hakim).
Kebijakan Pemerintah/Kementerian Agama RI terkait mabit di Mazdalifah secara murur itu sejalan dengan kaidah fiqh: tasharrufi al-imaami ‘ala al-ra’iyyati manuthun bi al-mashlahah (Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya harus berorientasi kepada maslahatan rakyat) (A.Djazuli, 2006: 15).
Jelasnya syariat Islam menetapkan adanya keringanan terhadap kesulitan apalagi berpotensi menimbulkan mudarat dalam pelaksanaan ibadah mahdah (al-masyaqqah al-‘azimah/kesulitan yang sangat berat), yang dirangkum dalam kaidah fiqh: al-masyaqatu tajlibu al-taysir/Kesulitan mendatangkan kemudahan (A. Djazuli, 2006: 55).

Pelaksanaan mabit di Muzdalifah wajib dilakukan tanpa murur, yakni bermalam di Muzdalifah sesuai ketentuan secara ‘azimah. Namun pelaksanaan mabit secara ‘azimah sulit dilakukan sehingga dilakukan penggantinya, ibarat wudhu tidak bisa dilakukan lantaran adanya uzur maka diganti tayamum. Perpindahan mabit secara ‘azimah kepada mabit secara murur tersebut dibolehkan berdasarkan kaidah fiqh: idza ta’adzdzara al-ashlu yushaaru ila al-badali (Apabila yang asli sukar dikerjakan maka berpindah kepada pengganti) (A.Djazuli, 2006: 62)

B. Aspek pelayanan dan keselamatan

Mabit di Muzdalifah secara murur erat kaitannya dengan pelayanan dan keselamatan Jemaah haji Indonesia terutama pada tahun 2024 ini. Pada satu sisi semua Jemaah haji berhak mendapatkan pelayanan secara maksimal yang mendukung pelaksanaan ibadah haji sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Di samping berhak mendapat pelayanan prima, mereka juga berhak atas keselamatan selama menjalani ibadah haji.

Pada dasarnya semua Jemaah haji berhak mendapat pelayanan dan keselamatan bukan saja selama menjalankan ibadah haji akan tetapi juga berhak memperoleh pelayanan dan keselamatan selama dalam perjalanan dari daerahnya menuju tanah suci, selama di tanah suci serta perjalanan kembali ke tanah air. Termasuk juga pelayanan tempat tinggal, makan, minum, kesehatan serta masalah lainnya.

Dari aspek keselamatan jemaah khusus golongan risti, lansia, disabilitas dan para pendampingnya sangat beresiko sebab menurut Direktur Layanan Haji Luar Negeri Kementerian Agama RI, pada tahun 2024 area yang tersedia untuk tiap jemaah haji Indonesia, jika semuanya ditempatkan di Muzdalifah hanya 62.350m2 dibagi 213.320 orang = 0,29 m2. Dengan demikian tempat di Muzdalifah semakin sempit yang berpotensi kepadatan luar biasa serta membahayakan Jemaah. (https://haji.kemenag.go.id/v5/detail/muzdalifah-sangat-padat-ppih-terapkan-skema-murur-untuk-jaga-keselamatan-jemaah-haji).

Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa pemberlakukan skema murur terhadap Jemaah khusus kelompok risti, lansia, disabilitas dan para pendampingnya dilakukan pemerintah/Kementerian Agama RI sebagai bagian dari upaya memberikan pelayanan serta menjaga keselamatan para Jemaah haji Indonesia.

C. Skema terbaik pelaksanaan Murur

Menurut Direktur Layanan Haji Luar Negeri Kementerian Agama RI, Subhan Cholid, bahwa skema mabit di Muzdalifah secara murur dipilih sebagai ijtihad dan ikhtiar bersama untuk menjaga keselamatan nyawa Jemaah haji Indonesia.

Menurut siaran pers Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, skema pelaksanaan mabit secara murur, yakni Jemaah haji yang melintasi Muzdalifah setelah tengah malam, walaupun hanya sebentar, telah memenuhi kriteria dan syarat mabit, sehingga ma bitnya sah dan tidak harus membayar dam is’ah. (https://kemenag.go.id/nasional/fatwa-majelis-tarjih-muhammadiyah-jika-udzur-syar-i-murur-jadi-rukhshah-dan-tidak-kena-dam-PTQjM).

Dengan kata lain, mabit di Muzdalifah dengan cara murur merupakan mabit dengan cara melintas di Muzdalifah, setelah menjalani wukuf di Arafah, saat melintasi kawasan Muzdalifah Jemaah tetap dalam berada di atas bus, kemudian langsung membawa Jemaah menuju tenda Mina.

Direktur Layanan Haji Luar Negeri Kementerian Agama RI, Subhan Cholid menuturkan bahwa pergerakan Jemaah haji Indonesia 1445 H dari Arafah akan dikelompokkan dalam dua skema, yakni normal dan murur. Pergerakan dengan skema murur dikhususkan terhadap 25% dari total Jemaah haji dan petugas haji Indonesia (sekirar 55.000 orang). Jemaah haji yang dimaksud adalah Jemaah dengan resiko tinggi, lanjut usia, disabiltas dan para pendamping lansia. Skema murur berlangsung pada tanggal 9 Zulhijjah antara pukul 19.00-22.00 WAS.

Sedangkan Satgas Mina/petugas Daker Makkah akan bergerak dari Arafah ke Mina pada pukul 13.30 WAS untuk menyambut kedatangan Jemaah. Jemaah risti, lansia, disabilitas dan para pendampingnya berkumpul di pintu keberangkatan maktab di Arafah setelah Magrib untuk diberangkatkan melintas Muzdalifah dan langsung ke Mina. Sedangkan pergerakan Jemaah dengan skema normal, sistem taraddudi dari Arafah ke Muzdaifah dimulai pukul 22.00 WAS, setelah pergerakan skema murur selesai. (https://haji.kemenag.go.id/v5/detail/muzdalifah-sangat-padat-ppih-terapkan-skema-murur-untuk-jaga-keselamatan-jemaah-haji)