Oleh | Dr. Nasaruddin Umar, M.H | Pakar Hukum Tata Negara IAIN Ambon
TANGGAL 22 April 2024, hari Senin depan akan menjadi hari yang menentukan bagaimana akhir dari segala kekisruan dan perselisihan hasil Pilpres 2024, hari yang akan ditunggu-tunggu bukan hanya para pendukung pasangan calon (paslon) tetapi juga seluruh rakyat Indonesia yang telah menyalurkan hak konstitusionalnya maupun dinantikan masyarakat internasional. Karena Mahkamah Konstitusi (MK) pada akhirnya akan memutus Perselisihan Perselesaian Hasil Pemilu (PHPU) atas gugatan Pasangan Calon Presiden (paslon) 01 dan 03 atas Keputusan KPU No. 360 Tahun 2024 mengenai penetapan hasil pemilu pilpres tahun 2024.
Beragam pandangan dan spekulasi pun bermunculan baik di media mainstream hingga perdebatan di tengah-tengah ruang publik dari para ahli hukum, politikus hingga tim kuasa hukum masing-masing paslon tentang opsi putusan MK mulai dari menolak, mengabulkan sebagian hingga seluruh permohonan dan munculnya fenomena baru 47 “Amicus Curiae” sahabat pengadilan untuk mendukung keyakinan hakim dari kalangan masyarakat kepada MK.
Tentu, secara sosiologis di era demokrasi saat ini merupakan suatu kewajaran setiap orang warga negara memiliki pendapat bahkan harapan kepada MK. Sebab bagaimanapun pemilu merupakan pesta demokrasi 5 tahunan bagi rakyat yang merupakan hak warga negara yang dijamin konstitusi sehingga rakyat memiliki harapan dan penilaian apakah suara rakyat betul-betul bisa dijaga secara jujur dan adil. UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat (1) memberikan kewajiban bagi hakim termasuk hakim konstitusi untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat, sehingga opini publik, rasa keadilan yang ditunjukkan masyarakat dapat dijadikan sumber hukum bagi hakim bahkan wajib digali, diikuti dan dipahami dalam memutus suatu perkara. Sehingga pemilu benar-benar menghasilkan pemimpin yang betul-betul mendapat legitimasi dan dukungan yang kuat dan murni dari rakyat.
Maka untuk membaca dan menelisik lebih jauh fenomena ini, paling tidak ada 2 (dua) hal yang menarik bisa dicermati dalam dalam persidangan Mahkamah Konstitusi (MK) yang pertama dalam sejarah MK baru kali ini MK melakukan terobosan hukum dengan menghadirkan 4 menteri kabinet Jokowi untuk mendalami keterangan dalil dari pemohon seputar dugaan penyalahgunaan kekuasaan, netralitas penjabat negara kebijakan bansos. Kedua dalam sejarah sidang PHPU Pilpres baru kali ini MK setidaknya menerima 47 Amicus Curiae dari berbagai kalangan masyarakat Indonesia mulai dari akademisi, seniman, hingga mantan Presiden seperti Megawati Sukarno Putri dan Habib Rizik Shihab dan dari informasi yang beredar dari media 14 amicus curiae diantaranya telah di dalami oleh MK. Ini menunjukkan bahwa sengketa PHPU Pilpres 2024 bukan hanya dalam sosotan publik yang luas tetapi mahkamah juga memiliki keseriusan yang cukup ekstra dalam mengadili sengketa ini, sebab bagaimanapun juga MK perlu menyadari problematika hukum pemilu kali cukup kompleks dari pemilu sebelumnya dan mendapat perhatian publik karena dugaan potensi kecurangan dan netralitas penyelenggara pemilu dan pejabat negara karena salah satu paslon pilpres diikuti putra Presiden Jokowi.
Menelisik potensi dikabulkannya permohonan paslon 01 dan 02 paling tidak, ada 3 (tiga) faktor kemungkinan yang dapat menjadi prediksi jika MK mengabulkan yakni:
Faktor adanya Yurisprudensi putusan MK yang mendiskualifikasi paslon dan PSU dalam Pilkada
Dalam praktiknya MK telah memiliki pengalaman dalam mendikualifikasi pasangan calon kepala daerah yang terpilih karna alasan tidak memenuhi syarat pencalonan misalnya MK perna memutuskan mendiskualifikasi pasangan calon kepala daerah dan memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) pertama, MK perna mendiskulifikasi pasangan urut 4 (Yusak Yaluwo-Yakob Waremba) di pilkada Boven Digoel Provinsi Papua tahun 2020 yang telah memenagkan pilkada dengan perolehan suara terbayak mengungguli 3 paslon yang lain, MK mendiskualivikasi karena Yusak terbukti tidak memenuhi syarat calon karena merupakan mantan narapidana yang belum melewati masa lima tahun sejak dibebaskan dari Lapas Sukamiskin 2017 melanggar Pasal 4 ayat 1 huruf f PKPU No. 1 Tahun 2020, putusan MK Nomor 132/PHP-BUP.XiX/2021 memerintahkan KPU Provinsi Papua untuk melakukan PSU bupati dan wakil bupati Boven Digoel dalam jangka waktu 90 hari stelah putisa tanpa mengikutkan Paslon Yusak Yaluwo-Yakob Waremba.
Kedua, di Pilkada Kab. Sabu Raijua Provinsi Nusa Teggara Timur MK melalui putusan Nomor 135/PHP.BUP-XIX /2021 mendiskualifikasi paslon 02 (Orient Patriot Riwu-Thobias Uly) yang memperoleh suara terbanyak dari kepersertaan dalam pilkada tahun 2020 karena tidak memenuhi syarat sebagai calon kepala daerah, Orient terbukti sebagai warga negara Amerika Serikat berdasarkan surat keduber Amerika Serikat kepada Bawaslu sehingga MK mendiskualifikasi Orient-Uly karena berstatus warga negara asing dan MK memerintahkan KPUD untuk melakukan PSU Pemungutan Suara Ulang dengan hanya diikuti pasangan yang lain yakni pasangan urut 1 dan pasangan urut 3. Dari pengalaman kedua pilkada tersebut, pemungutan suara ulang dimungkinkan karena paslon yang ikut lebih dari 2 paslon dan keduanya. Meskipun dalam sejarah di MK, PHPU Pilpres sejak pemilu langsung bergulir mulai 2004, 2009, 2014 dan 2019 belum perna MK memutuskan pemilu ulang atau pemungutan suara ulang, termasuk membatalkan hasil pemilu hingga mendiskualifikasi pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Sehingga pertanyaan yang menarik, apakah tanggal 22 April 2024 akan tercipta sejarah baru bagi bangsa ini atau tidak mungkinkah MK untuk pertama kalinya akan mendiskualifikasi paslon dan/atau memerintahkan PSU ulang ataukah MK kembali mengulang sejarah masa lalu dimana MK dalam putuan PHPU pilpres hanya menolak dan mengesahkan hasil pemilu, belajar dari yurisprudensi putusan MK dalam pilkada dapat menjadi syarat MK jika paslon 02 di diskualifikasi misalnya karena alasan saat pendaftaran tidak memenuhi syarat sebagai bakal calon wakil presiden dimana umur Gibran saat pendaftaran belum cukup 40 tahun sebagai batas umur minimal pencalonan sebagaimana diatur dalam Peraturan KPU No. 19 Tahun 2023. Hal tersebut telah diperkuat oleh putusan DKPP yang memberi sanksi Komisioner KPU telah melanggar kode etik karena melanggar prosedur dimana KPU tidak merubah PKPU 19 Tahun 2023 saat pendaftaran paslon presiden dan wakil presiden.
Faktor Imparsialitas dan Keberanian Hakim MK
Sejak adanya putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakill presiden sedikit banyak telah mencederai martabat MK dan menjatuhkan wibawa prinsip negara hukum, padahal MK sejatinya lahir di era reformasi justru dimaksudkan untuk mengontrol kekuasaan agar tidak sewenang-wenang. Berdasarkan putusan MKMK No. 02/MKMK/L/11/2023 secara tegas telah memberhentikan ketua MK Anwar Usman yang merupakan paman dari Gibran karena melanggar Sapta Karsa Hutama Prinsip ketidakberpihakan, prinsip integritas, prinsip independensi dalam mengadili perkara 90 tidak hanya ketua MK sejumlah hakim MK juga dijatuhi sanksi teguran oleh MKMK.
Situasi tersebut dapat menjadi pertimbangan bagi hakim MK untuk memperbaiki kembali citra mahkamah yang telah di cap sebagai “mahkamah keluarga” sejak putusan 90. Dapat dikatakan jika MK yang mengawali kekisruan, MK pulalah yang harus mengakhiri. Sehingga ini menjadi momentum untuk mengangkat kembali marwa MK yang telah terpuruk dan mempertegas kembali MK sebagai penjaga konstitusi, demokrasi, hak warga negara dan nilai-nilai pemilu yang jujur dan adil. Selain itu jika hakim MK memiliki integritas untuk tidak berpihak (imparsial) pada kekuasaan maka hakim akan memiliki keberanian memutus dengan hati nurani dan rasa keadilan dalam masyarakat dan ini menjadi pembuktian bahwa MK lah yang bisa diharapkan untuk menyelamatkan nilai-nilai demokrasi dan nilai-nilai negara hukum konstitusional.
Sikap progresifitas yang di tunjukkan para hakim MK dalam menggali sejumlah saksi termasuk 4 Menteri dan ahli serta saksi fakta dalam persidangan hingga keinginan MK untuk mendalami sejulah pendapat masyarakat sahabat pengadilan (amicus curiae), menunjukkan ada paradigma baru yang sedang dimainkan MK agar menjadi warna baru bahwa MK tidak hanya mahkamah kalkulator yang hanya menguji angka-angka namun juga menguji hal yang sifatnya kualitatif yang mempengaruhi hasil pemilu seperti indikasi kecurangan pemilu dengan penyalahgunaan kekuasaan, kebijakan, alat kekuasaan dan lain-lain termasuk keinginan hakim MK untuk menyerap aspirasi masyarakat sesuai ketentuan Pasal 14 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Peraturan MK No. 06/PMK/2005 yang memungkinkan adanya pihak terkait yang berkepentingan tidak langsung yang perlu di dengar keterangannya sebagai ad informandum. Termasuk konsistensi MK dalam untuk tidak melibatkan Anwar Usman untuk mengadili PHPU Pilpres 2024 sesuai saksi dan putusan dari MKMK juga merupakan bukti integritas dan sikap imparsialisme yang sedang ditunjukkan MK dalam memperbaiki citranya.
Faktor Tuntutan Reformasi Hukum Pemilu yang jujur dan adil dan Mencegah Anarkisme Politik
Tidak bisa dipungkiri hukum pemilu yang diatur dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu memiliki banyak kekurangan seperti ketidakmampuan mengontrol prilaku nepotisme kepala negara dan termasuk menteri dalam mengambil kebijakan yang menguntungkan keluarganya. Bagaimana hukum pemilu mengatur jika anak presiden maju dalam pilpres, bagaimana mengadili jika presiden terlibat kampanye menggunakan fasilitas negara.
Sehingga MK lah yang memiliki tanggungjawab memperbaiki sistem pemilu sesuai tuntutan konstitusi Pasal 22 E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, misalnya dapat memerintahkan kepada pembuat UU untuk mengatur segala hal yang potensial tercederainya prinsip pemilu yang jujur dan adil, karena abuse of power, nepotisme pemilu, politisasi bansos, aparat desa dan APBN untuk kepentingan pemilu pengaturannya bisa diwujudkan dalam UU Pemilu yang baru. Hal tersebut dimungkinkan dalam Pasal 53 ayat (2) Peraturan MK No. 4 Tahun 2024 MK dapat menambah amar putusan jadi terbuka peluang ultra petita selain yang dimohonkan pemohon dan dalam ketentuan peraturan MK. Karakteristik peradilan MK menunjukkan bahwa sistem peradilan di MK merupakan peradilan hukum tata negara bukan peradilan perdata atau pidana karena ia menguji isu-isu ketatanegaraan seperti sengketa pemilu, pemakzulan presiden hingga pembubaran partai politik sehingga dalam praktiknya akan kembali kepada ciri utama hukum tata negara yang selalu bersifat cair tidak stagnan namun selalu statis untuk dapat merespon dinamika ketatanegaraan dan kebutuhkan hukum masyarakat dan negara itu sendiri.
Tentu jika putusan MK menolak segala tuntutan paslon 01 dan 02 termasuk harapan publik melalui pendapat amicus curiae dan berbagai model kecurangan baru dan penyalahgunaan kekuasaan dalam pemilu 2024 akan menjadi preseden buruk bagi bangsa ini kedepan, artinya hal tersebut akan menjadi “lampu hijau” segala bentuk kecurangan akan menjadi kebiasaan baru di pemilu termasuk pilkada di Indonesia, disinilah posisi strategis putusan MK akan menjadi benteng konstitusi untuk mengadili segala model kecurangan yang tidak mampu diselesaikan oleh bawaslu maupun penegak hukum apalagi jika berkaitan dengan penggunaan alat kekuasaan seperti politik gentong babi (pork barrel politics) sebagai operasi atau kebijakan politik untuk pemenangan paslon tertentu.
Posisi MK sebagai penyeimbang kekuasaan eksekutif dan legislatif termasuk mengimbangi kekuasaan penyelenggara pemilu seperti KPU maupun Bawaslu dan DKPP jika dipandang tidak profesional dalam menyelenggarakan pemilu atau tidak mampu menunjukkan integritas dan independesi, sehingga MK sebagai pintu terakhir dalam menjaga marwa pemilu jujur dan adil. Kepentingan seperti inilah dapat menjadi alasana MK untuk menciptakan putusan yang progresif dan menjadi contoh yang baik bagi penyelenggaraan pemilu di tahun-tahun mendatang. Boleh jadi jika dugaan nepotisme kekuasaan yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka dipandang sebagai pokok permasalahan dalam berbagai kekucarangan dalam pemilu 2024 maka bisa saja MK kemudian dalam putusannya hanya mendiskualifikasi paslon 02 dan/atau wakil paslon 02, MK selanjutnya dapat saja memerintahkan pergantian yang bersangkutan baik pemilihannya melalui MPR maupun diusulkan oleh partai pengusung atau memerintahkan kepada KPU untuk menyelenggarakan pemungutan suara ulang dengan diikuti oleh pasangan paslon wakil presiden 02 yang baru. Ini barangkali dapat menjadi solusi yang bijak sekaligus mengakhiri segala kekisruan dan kemungkinan sarana-sarana lain seperti pengadilan jalanan, pengadilan politik melalui hak angket hingga interplasi dan pemakzulan presiden bisa dihindari.
Faktor-faktor inilah yang dapat menjadi alasan dikabulkannya permohonan paslon 01 dan 03 baik sebagian maupun seluruhnya, namun semua kita kembalilan kepada putusan Hakim MK, tentu sebagai pembelajar hukum dan warga negara yang taat hukum kita harus menghormati apapun putusan MK nantinya sebab jalan inilah yang secara konstitusional yang telah disepakati dalam konstitusi untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilu melalui lembaga peradilan MK, kita percaya MK akan memutus dengan seadil-adilnya dan menuntun hukum dan bangsa ini ke jalan demokrasi dan pemilu yang lebih baik dan adil. Dan tentu yang paling penting adalah ini menjadi momentum bagaimana menyelamatkan prinsip-prinsip negara hukum pancasila agar demokrasi dan kedaulatan rakyat bisa dijaga dan menyelamatkan negara dari segala pengaruh kekuasaan yang corrup dan despotis yang kian berkembang saat ini. Semoga saja. (***)