- M. KHASASI RAMDHANI PELUPESSY
- Dosen IAIN Ambon | Penulis Moderasi Beragama di Maluku
“Indonesia tanpa Buru [atau Maluku – tambahan penulis] bukanlah Indonesia”, kata Soekarno saat berkunjung ke pulau Buru tahun 1957 lalu. Pernyataan itu sekilas menunjukkan bahwa eksistensi Indonesia sangat tergantung pada Maluku. Karena itulah, merawat Maluku sama saja dengan merawat Indonesia. Kata “merawat” memiliki makna yang sangat luas. Kata itu tak sekedar bermakna menjaga, melainkan juga melindungi, membangun, menyejahterakan, dan membahagiakan. Konsekuensi dari pernyataan tersebut adalah menjadi tugas pokok nurani semua anak bangsa yang terhimpun dalam satu Indonesia untuk merawat Maluku. Orang Jawa, Dayak, Bugis, Makassar, Madura, Batak, Papua, dan semuanya terpanggil batinnya merawat Maluku jika menghayati pernyataan Soekarno di atas, “Indonesia tanpa [Maluku] bukanlah Indonesia”.
Panggilan merawat Maluku bukanlah perkara mudah. Butuh keseriusan, komitmen dan konsistensi sekaligus juga keikhlasan. Sebab merawat kemajemukan tidak semudah merawat keseragaman, walaupun terkadang situasi yang seragam pun juga muncul conflict of interest di dalamnya sehingga terjadi pembelahan. Buktinya sudah banyak. Kelompok-kelompok ekstrimis misalnya yang sejauh ini berupaya seragam, namun di dalamnya selalu terjadi perpecahan terus-menerus hingga melahirkan kelompok ekstrimis baru di kemudian hari. Situasi yang seragam saja belum tentu tidak muncul konflik, apalagi situasi yang majemuk seperti Maluku. Tantangan terberat merawat Maluku sebagai daerah yang sangat majemuk dari segi agama, bahasa, dan budaya adalah agar jangan sampai muncul konflik horizontal yang mengarah pada disintegrasi bangsa Indonesia. Dalam kata lain, “Jikalau Maluku sebagai akar tercerabut dari bumi pertiwi, maka pohon Indonesia akan tumbang di kemudian hari”.
Upaya menjaga perdamaian di Maluku adalah panggilan suci merawat Indonesia. Narasi-narasi perdamaian akan terus ditransmisikan dari setiap generasi di Maluku. Banyak yang bertanya, mengapa upaya itu terus dilakukan? Faktanya Maluku sekarang sudah damai sehingga tidak perlu dinarasikan lagi usaha perdamaian tersebut. Sekarang ini Maluku harus fokus memprogramkan peningkatan taraf ekonomi masyarakat, membahagiakan kehidupan bersama, dan memajukan pendidikan. Jadi, tidak perlu lagi terlalu bersemangat mentransmisikan isu perdamaian di Maluku. Ya, Maluku memang sudah damai dan harus fokus memprogramkan hal-hal tersebut. Tapi perlu di ingat bahwa yang namanya “konflik” itu tidak menunggu waktu kapan ia akan meledak. Konflik itu bisa terjadi hari ini, besok, lusa, atau di kemudian hari bahkan sebelum terjadi kiamat selagi masih ada kontestasi di tengah kemajemukan.
Sebab itulah, merawat Maluku merupakan ibadah sosial yang tak pernah selesai (never ending process). Sebagai ibadah sosial yang never ending process, maka aktor yang melakukannya harus berjiwa sebagai seorang hamba yang kuat memeluk prinsip perdamaian. Karaktersitik seorang hamba perdamaian adalah konsistensi bertutur-kata mengenai narasi kedamaian dari masa ke masa, komitmen merawat kemajemukan sebagai sesuatu yang niscaya, dan keikhlasan bersikap rahmatan lil ‘alamin (membahagiakan semuanya). Berikut ini adalah tiga orang hamba yang sangat concern mentransmisikan narasi perdamaian secara terus-menerus dari generasi ke generasi di Maluku. Potret pengalaman dari tiga orang hamba perdamaian ini dalam mengambil kebijakan demi merawat kedamaian di Maluku perlu mendapat apresiasi, sekaligus juga sebagai bahan kontemplasi bagi generasi penerus di masa mendatang.
Hasbollah: Hidup Bersama Melampaui Segregasi
Hasbollah Toisuta, mantan rektor IAIN Ambon selama dua periode ini telah lama bergumul dengan isu-isu perdamaian di Maluku. Pria kelahiran Siri-Sori Islam itu tak hanya menyimpan narasi perdamaian di dalam benaknya saja, melainkan juga ia turut membumikan gagasan perdamaian ke dalam tindakan konkrit selama proses penyelesaian konflik horizontal di Maluku tahun 1999-2002 silam. Maluku tahun 1999-2002 pernah mengalami tragedi sosial paling parah di abad modern. Istilah “acang” bagi orang Islam dan “obet” bagi orang Kristen ini menguat karena perang saudara. Laskar jihad dan dan laskar kristus saling baku ambil nyawa, ini merupakan suatu tindakan di luar nalar manusia pada umumnya.
Meskipun Maluku sangat mencekam pada tahun-tahun itu, Hasbollah tampil sebagai mediator dengan memberi pikiran alternatif perdamaian melalui mimbar Masjid Raya Alfatah di kota Ambon. Ia berani berkhotbah tentang perdamaian di tengah situasi yang mencekam karena dikepung kelompok-kelompok ekstrimis yang sangat mau Maluku terus berkonflik atas nama jihad fi sabilillah. Membumikan pikiran alternatif perdamaian ditengah situasi yang mencekam butuh mentalitas tingkat tinggi (kalau tidak mau kepalanya dipenggal). Apa yang mendorong sehingga ia sangat berani melakukan tindakan itu? Ia bercerita kepada saya (penulis), bahwa itu semua berangkat dari pengalaman pemikiran yang lambat laun telah membentuk sikapnya untuk bertindak seperti itu.
Hasbollah sangat terinsipirasi oleh pemikir-pemikir Islam modernis seperti Cak Nur, Gus Dur, Ahmad Wahib, Djohan Effendi, mas Dawam Rahardjo, dan pemikir Islam modernis lainnya. Diskursus wacana Islam modernis yang pernah dicicipinya itu yang mengantarkannya pada sikap moderat. Olehnya itu, ia sangat getol memperjuangkan perdamaian di Maluku selama masa konflik horizontal tahun 1999-2002. Karena ke-getol-annya, maka ia dalam usia 34 tahun sudah dilibatkan dalam Perjanjian Malino yang merupakan pondasi awal membangun perdamaian di Maluku selama konflik itu terjadi. Keterlibatannya dalam isu-isu perdamaian dan wacana Islam modernis telah mengkristal dalam perilakunya sehari-hari. Bahkan terpelihara hingga ia menjadi rektor IAIN Ambon sejak tahun 2012 sampai 2020.
Saat ia menjabat sebagai rektor, salah satu kebijakan yang diambil bersama teman-temannya seperti Abidin Wakano, Abubakar Kabakoran dan lainnya adalah menuangkan gagasan multikultural sebagai paradigma kampus ditengah oase keberagaman di Maluku. Paradigma itu muncul dengan tujuan merawat perdamaian di Maluku melalui dunia pendidikan. Sebagai paradigma kampus, multikultural tak hanya berhenti di menara gading diskurus teoritik, melainkan juga dibumikan ke dalam kurikulum serta dilembagakan dalam satu wadah yang disingkat ARMC (Ambon Reconciliation and Mediation Center) di IAIN Ambon. Paradigma multikultural ini muncul tahun 2012, semangatnya persis sama dengan program Moderasi Beragama yang mulai dicanangkan Kementerian Agama tahun 2014 lalu. Sekilas, tampaknya usaha-usaha Moderasi Beragama secara khusus di IAIN Ambon yang berdampak bagi masyarakat luas di Maluku itu ternyata sudah lama dilakukan jauh sebelum Moderasi Beragama diprogramkan oleh Kementerian Agama.
Selepas dari rektor IAIN Ambon, Hasbollah kemudian berkecimpung mendirikan Yayasan Sombar Negeri (YSN) di Maluku. Ia bersama kawan-kawan provokator damai lainnya kembali “turun gunung” (selepas menjabat rektor) untuk terus merawat perdamaian di Maluku melalui yayasan yang dibentuknya tersebut. Yayasan Sombar, dalam bahasa orang Maluku memaknai “sombar” sebagai pelindung bagi semua orang yang berteduh dibawahnya. Ibarat pohon beringin, daun-daun yang melindungi semua makhluk dibawahnya diistilahkan sebagai “sombar”. Yayasan tersebut bergerak dalam menguatkan nilai-nilai kearifan lokal di Maluku untuk perdamaian sejati.
Alasan dibentuknya yayasan itu karena Hasbollah melihat bahwa masalah utama yang dihadapi masyarakat Maluku sekarang ini adalah masalah segregasi ruang publik yang ketakutannya akan melahirkan segregasi pemikiran. Jika segregasi ruang publik ini tidak dikelola secara baik, maka ketika pemikiran ekslusif masuk ke dalamnya akan melahirkan situasi yang semakin parah di kemudian hari. Apalagi di era sekarang yang ditandai keterbukaan informasi melalui platform sosial-media (sosmed), tidak menutup kemungkinan akan masuk narasi-narasi ajaran eksklusif ke dalam pemikiran masyarakat (terutama generasi milenial). Olehnya itu, penguatan nilai-nilai kearifan lokal sebagai benteng terakhir untuk menangkal ajaran eksklusif dalam beragama itu perlu digalakkan secara terus-menerus. Hasbollah meyakini bahwa melalui kebudayaan Maluku maka kita akan hidup bersama melampaui segregasi pemikiran tersebut.
Pendeta Rudy: Gereja Tanpa Tembok
Rudy Rahabeat, pendeta keturunan Maluku Tenggara ini lahir dengan perasaan sebagai orang “marjinal”. Perasaan itu yang mendorongnya untuk bersentuhan dengan umat muslim (beretnis Buton, Bugis, Makassar, dan lainnya) di Maluku. Ia bertemu dalam satu rasa yakni perasaan sama-sama “marjinal”. Keterlibatannya dalam merawat perdamaian di Maluku dimulainya saat ia bersekolah di Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) dengan mengambil jurusan teologia tahun 1993. Di universitas tersebut, ia berkenalan dengan gagasan Islam melalui seorang dosen bernama Pdt. Pieter Tanamal serta Prof. John Ruhulessin dalam studi sosiologi agama. Berkenalan dengan gagasan-gagasan Islam itulah yang membuatnya semakin berminat berinteraksi dengan umat muslim di Maluku.
Pada saat konflik terjadi di Maluku tahun 1999-2002, Rudy pergi Yogyakarta untuk mengambil strata dua di Universitas Sanata Dharma. Ia tak hanya bersekolah, tapi ia turut melibatkan diri dalam kerja-kerja perdamaian melalui Yogya untuk Maluku yang pada masa itu sedang berkonflik. Di Yogya, ia bersama teman-teman asal Maluku seperti Fahmi Sallatalohy dan lainnya membentuk “Saniri Satu Rasa”. Melalui organisasi tersebut, mereka melahirkan satu buku berjudul “Nasionalisme Kaum Pinggiran” yang diterbitkan oleh LKiS. Selama empat tahun di Yogya, ia bersama teman-teman juga menginisiasi satu program terkait upaya menghimpun raja-raja negeri di Maluku untuk datang ke Yogya lalu belajar perdamaian bersama Sultan Hamengkubuwono.
Tahun 2004 (pasca konflik Maluku), Rudy kembali ke Ambon dan di masa inilah ia semakin kuat membumikan isu-isu perdamaian di Maluku. Hal pertama yang ia lakukan sebelum menjadi pendeta adalah menerbitkan buku bersama Abidin Wakano tentang kompilasi tulisan-tulisan Prof. John Ruhulessin. Kemudian, ia juga terlibat dalam satu lembaga di Gereja Protestan Maluku (GPM) yakni Lembaga Pembinaan Jemaat. Di lembaga ini ia bersama teman-temannya menyiapkan materi-materi pluralisme dan toleransi yang nantinya diberikan kepada para pendeta di Maluku. Melalui kerja-kerja intelektual seperti itulah, akhirnya GPM bermetamorfosis menjadi “Gereja Orang Basudara (GOB)”. Istilah GOB ini merupakan aktualisasi dari penyerapan nilai-nilai kearifan lokal di Maluku yang menegaskan tentang persaudaraan kemanusiaan.
Selepas itu, tepat tahun 2011 Rudy ke Ternate dan menjadi pimpinan jemaat di Gereja Ayam. Selama menjadi pimpinan jemaat, upaya yang paling brilian dari Rudy adalah menuangkan gagasan “Gereja Tanpa Tembok”. Ia menganggap bahwa gereja tidak boleh terkurung dalam temboknya sendiri, gereja harus berani melampaui tembok itu untuk bersentuhan dengan realitas kemajemukan yang ada. Melalui gagasan “Gereja Tanpa Tembok”, ia lalu membuka pintu gerbang gereja untuk menerima umat beragama lain melakukan aktivitasnya di seputaran gereja. Di gereja ayam yang dipimpinnya itu, ia bersama jemaatnya kerap kali membuat kegiatan buka puasa bersama, sunatan massal, dan aktivitas-aktivitas keagamaan dari umat lain. Bagi Rudy, usaha membuka tembok gereja ini agar umat kristiani dapat belajar dari umat beragama lainnya. Ia melakukan itu dengan satu pernyataan bahwa, “Saya mengajak Anda ke gereja bukan berarti saya suruh Anda masuk Kristen. Anda tetap harus menjadi Islam yang baik dan saya juga harus menjadi Kristen yang baik. Titik temu kita ada di nilai-nilai kebaikan tersebut.”
Satu hal yang paling mendorong ia melakukan itu adalah karena pernah mencicipi gagasan pluralisme dari Pieter Tanamal, John Ruhulessin, Gus Dur, Buya Syafii Maarif, Hasan Hanafi, Fazlur Rahman, Arkoun, Muhammad Iqbal, dan lainnya. Menurutnya, semakin ia mempelajari Islam semakin ia menganggap bahwa setiap agama itu tidak terlalu beda. Mempelajari Islam justru semakin memperkaya dirinya memegang kuat ajaran Kristus. Sekarang ini, Rudy menjabat sebagai Wakil Sekretaris Umum Gereja Protestan Maluku (Wasekum GPM). Salah satu program GPM yang sangat luar biasa adalah menginisasi jambore bakudapa (perjumpaan). Jambore ini melibatkan semua anak negeri di Maluku dari pelbagai latar belakang baik itu Islam, Kristen, beretnis Bugis, Makassar, dan semuanya. Usaha ini dalam rangka terus merawat perdamaian di Maluku.
Sekarang, Rudy melihat tantangan yang dihadapi umat beragama di Maluku adalah persoalan segregasi ruang publik yang akan menjadi parah apabila dinamika politik (“politik identitas”) tidak dapat di kontrol secara maksimal. Suatu saat, persoalan segregasi itu bisa menjadi bom waktu. Olehnya itu, salah satu upaya yang perlu dikuatkan adalah terus melestarikan nilai-nilai kebudayaan lokal di Maluku. Orang Maluku tidak boleh melepaskan identitas kebudayaannya, karena inilah sumber kekayaan untuk kita bisa hidup damai terus-menerus hingga masa mendatang. Titik temu kita ada di kebudayaan. Kedamaian adalah tujuan semua orang, dan ini bisa terwujud apabila kita saling mengasihi antar sesama. Sebagaimana Alkitab sering menegaskan, “Kasihilah sesamu sebagaimana Engkau mengasihi dirimu sendiri”.
Abidin Wakano: Perjumpaan Demi Perdamaian
Abidin Wakano, nama ini tidak asing lagi di telinga orang Maluku. Ia dikenal sebagai bapak provokator damai ketika konflik horizontal kembali terjadi di Maluku tahun 2011 silam. Abidin lahir dalam kultur keagamaan NU, kemudian ia hijrah ke Makassar untuk mengenyam pendidikan S1 di IAIN Alauddin. Selama berproses di IAIN Alauddin, Abidin berjumpa dengan pemikiran-pemikiran Gus Dur, Cak Nur, Ibn Taimiyah (dalam perspektif Cak Nur), Ali Syariati, Mulla Sadra, dan lain sebagainya. Bahkan, ia juga secara langsung berjumpa dengan salah satu pemikir yakni Dr. Th. Sumartana adalah tokoh pendiri Interfidei (Institute for Inter-Faith Dialogue in Indonesia) pertama di Indonesia. Selain itu, selama di Makassar, ia juga berjumpa dengan Jalaludin Rakhmat, Prof. Kasim Mata, dan lain-lain. Perjumpaannya itu telah membuatnya semakin bersemangat melakukan kerja-kerja damai di Maluku melalui Makassar.
Banyak hal yang telah ia lakukan, salah satu diantaranya adalah bersama teman-temannya membentuk suatu forum dialog lintas agama di Sulsel. Bersama Prof. Saleh Putuhena yang waktu itu sebagai rektor IAIN Alauddin Makassar, Abidin sebagai koordinator menggagas pertemuan raja-raja negeri Maluku di Makassar selama konflik masih menghangat di Maluku tahun 1999-2002. Tahun 2000, Abidin balik ke Maluku lalu membangun perjumpaan-perjumpaan sepi demi merawat perdamaian di Maluku. Saat itu usianya masih terbilang sangat muda yakni 24 tahun. Mengapa ia melakukan perjumpaan sepi? Jawabannya kepada saya (penulis) adalah karena jika kita bangun perjumpaan secara nyata ditengah situasi konflik maka itu sangat membahayakan. Olehnya itu, melalui perjumpaan-perjumpaan sepi lebih efektif dalam menciptakan perdamaian di Maluku.
Setahun kemudian tepat 2001 Abidin hijrah ke Yogyakarta. Di Yogya, ia berkecimpung dalam Interfidei, dan tahun 2004 bersama Pdt. Jacky Manuputty serta teman-teman lainnya membentuk Lembaga Antar iman (LAI). Salah satu kegiatan yang pernah dilakukan lembaga ini adalah melakukan perjumpaan antar iman se-Asia Pasifik yang kegiatannya dilakukan di Ambon. Dalam kegiatan tersebut, Abidin sebagai koordinator. Kegiatan itu ditutup dengan membaca suara damai dari Maluku untuk dunia. Kegiatan itu bertujuan menciptakan rekonsiliasi Islam-Kristen di Maluku. “Ternyata, perjumpaan itu lambat-laun melahirkan trust antar sesama yang puncaknya adalah tercipta perdamaian”, tuturnya.
Satu upaya dibalik program perjumpaan itu adalah membangun dialog antar iman. Dialog ini diperlukan untuk merubah mindset sekaligus juga mempertautakan hati dengan hati. Dialog itu tak hanya seputar masalah agama, tapi juga membahas isu-isu lingkungan, masalah ketimpangan sosial, HIV/AIDS, dan lainnya. Tujuan dari kegiatan dialog tersebut adalah menggiring opini tokoh-tokoh agama untuk lebih fokus memperhatikan masalah bersama yakni isu lingkungan, ketimpangan sosial, HIV/AIDS, dan lainnya tersebut. Ia bersama teman-temannya mengharapkan tokoh-tokoh agama tidak boleh terlalu larut dalam masalah-masalah kelam, tapi harus lebih fokus pada masalah-masalah bersama.
Salah satu kegiatan yang terbilang sangat unik adalah ketika Abidin bersama teman-temannya menginisasi kegiatan live in. Kegiatan ini berusaha memperjumpakan tokoh-tokoh lintas agama dalam satu rumah bersama. Misalnya, pendeta diusahakan untuk bisa hidup dalam satu rumah dengan imam masjid maupun sebaliknya selama kurun waktu tertentu. Selama live in, si pendeta maupun imam masjid tentu secara diam-diam akan banyak belajar tentang hubungan persaudaraan lintas iman tersebut. Suatu saat (dalam wawancara saya dengan pak Abidin), ada seorang pendeta tinggal di rumah imam masjid. Selama di rumah itu, si pendeta secara diam-diam menyaksikan bahwa ternyata imam masjid itu tidak di gaji. Ini membuat si pendeta kaget. Si pendeta memperhatikan bahwa kehidupan imam masjid itu ternyata diperoleh melalui usahanya sendiri memarut isi buah kelapa. Perjumpaan ini lambat-laun telah membangkitkan rasa emosional (empati) si pendeta terhadap imam masjid tersebut. Hingga selepas kegiatan live in itu, si pendeta membelikan alat parut kelapa yang kemudian diberikannya ke imam masjid. Perjumpaan emosional yang sepi ini ternyata telah membangkitkan rasa persaudaraan lintas iman yang sangat luar biasa.
Itulah beberapa upaya yang dilakukannya bersama teman-temannya untuk terus merawat perdamaian di Maluku. Meskipun Maluku sekarang sudah damai, namun dalam kacamata Abidin melihat realitas kehidupan beragama orang Maluku sekarang ini telah berada di ujung honeymoon perdamaian. Mengapa? Abidin menjelaskan bahwa tantangan terberat yang dihadapi umat beragama di Maluku sekarang ini adalah terkait politik identitas yang akan menguatkan segregasi sosial bahkan sampai pada perpecahan. Mencermati realitas tersebut, ia menyarankan sekaligus menegaskan untuk terus melakukan dialog antar iman di Maluku. Dialog ini harus di isi dengan cerita-cerita orang basudara (bersaudara) di Maluku dalam menghadapi politik identitas. “Jangan kita warisi generasi kita dengan narasi-narasi kelam, tapi warisi generasi-generasi kita dengan cerita-cerita damai”. Dialog akan membuka perjumpaan, dan perjumpaan akan melahirkan perdamaian. Usaha ini dilakukannya karena ia terinspirasi oleh Qs. Al-Imran ayat 103, “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah…”.
Bertemu di Titik Kemanusiaan
Kita telah menyaksikan bagaimana usaha-usaha perdamaian di Maluku itu ternyata butuh kerja ekstra sekaligus ikhlas. Usaha yang ditampilkan tiga hamba perdamaian tersebut yakni Hasbollah Toisuta, Rudy Rahabeat, dan Abidin Wakano merupakan panggilan nurani mereka karena merasa sama-sama manusia. “Aku menyayangimu karena kau manusia. Tapi kalau kau menghancurkan kemanusiaan. Aku akan melawanmu. Karena aku manusia”, inilah penggalan lirik lagu Iwan Fals berjudul “Aku Menyayangimu” yang diambil dari puisi ciptaan Mustofa Bisri (Gus Mus). Kita memang berbeda dalam arti agama, etnis, suku, bahasa, dan lainnya. Meskipun berbeda, tapi kita diciptakan dari Tuhan yang sama, yakni Tuhan yang selalu berpihak kepada kemanusiaan. Hal ini terbukti dalam berbagai firman-firman-Nya baik itu di al-Qur’an, Alkitab, maupun kitab-kitab suci lainnya yang diturunkan kepada para nabi.
Karena itulah, merawat perdamaian merupakan panggilan kemanusiaan sekaligus juga panggilan kenabian. Misi para nabi adalah memperjuangkan perdamaian bagi kemaslahatan bersama (rahmatan lil ‘alamin). Ini tugas yang sangat-sangat berat jika kita berani mengambilnya. Hal ini karena spirit dibalik perjuangan itu adalah bernilai ibadah. Yang namanya ibadah selalu ada rintangan untuk menggagalkannya. “Syaitan tidak suka perdamaian, hanya manusia sajalah yang senang perdamaian”, jangan heran syaitan akan selalu berusaha menghalangi manusia untuk sampai pada perdamaian. Mencermati hal ini, maka kita harus kembali ke titik kemanusiaan dengan pertanyaan, “Siapa diri saya di bumi ini? Bagaimana harusnya saya di dalam kehidupan ini?”. Pertanyaan tersebut sekilas menstimulasi batin kita untuk kembali ke titik kemanusiaan.
Dengan kembali ke titik kemanusiaan maka kita akan terpanggil untuk terus merawat perdamaian di Maluku yang berdampak bagi eksistensi Indonesia di kemudian hari. Usaha ini merupakan ekspresi dari nilai-nilai moderasi beragama yang sangat dibutuhkan hingga masa mendatang. Usaha tersebut bersifat never ending process, tak pernah ada kata “selesai” selagi masih ada kontestasi di dalam kemajemukan. Buktinya seperti Maluku, meskipun sudah damai tapi masih ada saja tantangan yang dihadapi Maluku. Tantangan segregasi ruang publik di tengah kemajuan teknologi melalui kehadiran platform sosmed serta dinamika politik identitas, ini semua akan memperparah segregasi ruang publik tersebut menuju konflik horizontal jika tidak di kelola secara bijak. Olehnya itu, usaha-usaha perdamaian sebagai spirit moderasi beragama harus terus digelorakan tak hanya di Maluku, tapi juga di daerah-daerah lainnya. “Indonesia tanpa [Maluku] bukanlah Indonesia” (Soekarno, 1957). Sekian. (***)