ALMULUKNEWS.COM AMBON  – Tiga mobil beriringan, dikawal oleh anggota Pagar Nusa, melaju perlahan di jalan lintas Seram. Udara sore yang sejuk mengiringi perjalanan mereka menuju sebuah rumah sederhana di Desa Waihatu, Kecamatan Kairatu,Kabupaten Seram Bagian Barat.

Tak jauh dari Masjid Al Muhajirin desa itu, rombongan akhirnya berhenti. Di depan mereka, berdiri rumah kayu sederhana berukuran 6×10 meter. Di dalamnya, seorang lelaki sepuh menanti, Mbah Karya, sosok kharismatik berusia 103 tahun.

 

Hari kedua dari perjalanan enam hari dalam agenda PDPKNU Maluku menghadirkan momen istimewa. Ketua Tanfidziyah PWNU Maluku, Dr. H. Yamin, S.Ag, M.Pd.I, didampingi Rais Syuriyah PWBNU Maluku, KH. Abdul Rahman Tuanaya, Lc, serta Khatib Syuriyah PWNU Maluku, Ustadz Chairudin Talaohu, Lc, mengetuk pintu rumah kayu itu.

Dengan senyum ramah, pintu terbuka, menampilkan sosok Mbah Karya, lelaki yang usianya telah melampaui satu abad, namun tetap tegap berdiri menyambut para tamunya. Dengan suara penuh wibawa, Mbah Karya menyapa, “Siapa, dari mana, dan apa maksud kedatangan kalian?”

Dialeg Jawa kental ucapannya disambut oleh . KH. Abdul Rahman Tuanaya menjawab dengan penuh hormat, memperkenalkan rombongan serta menjelaskan niat mereka untuk bersilaturahmi dengan sesepuh Nahdlatul Ulama di Maluku, yang memiliki nama lengkap Karya Wirerja itu.

Senyum tersungging di wajah Mbah Karya. Ia lalu mengalihkan pembicaraan, mengenang awal kedatangannya ke Pulau Seram pada tahun 1973 sebagai bagian dari kelompok transmigrasi.

Kisahnya mengalir dengan ringan, memperlihatkan bahwa ia bukanlah orang biasa. Dari tutur katanya, tampak jelas betapa dalam pengalaman hidupnya.

Ia berkisah tentang masa-masa belajar di pondok pesantren, bagaimana ia mengenal KH. Abdurrahman Wahid, sosok yang kemudian dikenal sebagai Gus Dur. “Gus Dur itu orang yang sangat pintar, di pesantren ia selalu fokus belajar ilmu agama,” kenangnya.

Namun, berbeda dengan Gus Dur yang hanya mendalami ilmu agama, Mbah Karya juga mengurus ternak milik sang kiai di pesantren. Kebiasaan itu ia bawa hingga kini. Dahulu, ia memelihara sapi, namun seiring bertambahnya usia, kini ia lebih memilih kambing yang jumlahnya masih tersisa di samping rumahnya.

Meski sudah tua tapi sampai saat ini mba karya masih bisa melakukan aktifitas seperti mengarit rumput untuk memberi makanan bagi ternaik yang dipelihara.

Karya Wirerja mengungkapkan satu hal menarik meskipun ia tidak mengenal huruf-huruf hijaiyah, ia memahami makna ayat-ayat Al-Qur’an hanya dengan mendengar. “Kalau ada yang membacakan Al-Qur’an, saya tahu artinya. Tapi kalau harus membaca sendiri, saya tidak begitu paham,” ungkapnya jujur.

Dalam pertemuan singkat itu, Mbah Karya menyampaikan petuah mendalam kepada para kader Nahdlatul Ulama yang hadir. “Jika ingin hidup diberkahi, lakukanlah sesuatu yang membahagiakan Allah SWT. Ambil dan letakkan segala sesuatu pada tempatnya. Dan jika doa kalian belum dijawab, itu mungkin karena alamatnya salah,” tuturnya sambil tersenyum bijak.

Kata-kata penuh makna yang disampaikan dengan gaya sederhana itu membuat rombongan semakin terkesima. Silaturahmi yang hanya berlangsung sekitar 30 menit itu terasa begitu dalam dan membekas.

Sore berganti malam, rombongan PWNU Maluku pun berpamitan, mengucapkan terima kasih atas waktu dan kebijaksanaan yang telah dibagikan oleh Mbah Karya. Mereka meninggalkan rumah sederhana itu dengan hati penuh hikmah, membawa pulang pesan kehidupan yang tak ternilai dari seorang sesepuh yang telah mengarungi lebih dari satu abad perjalanan hidup.