• Catatan : M. Kashai Ramdhani Pelupessy
    • | Dosen Psikologi IAIN Ambon

SEBELUM membicarakan apa itu psikologi pendidikan, terlebih dahulu saya mau bicara tentang kondisi psikologis manusia ke-Maluku-an. “Kemungkinan Maluku
diciptakan saat Tuhan sedang tersenyum”, ini merupakan ungkapan yang selaras dengan fakta sekarang ini. Bahwa alam Maluku kaya raya, menjadi rebutan banyak bangsa.

Fakta tesebut tak bisa kita tepiskan begitu saja. Giles Milton dalam bukunya “Pulau Run” dan novel Hanna Rambe yang berjudul “Aimuna dan Sobori” telah melukiskan fakta kalau Maluku itu memang kaya raya. Sejak dulu Maluku diincar oleh banyak bangsa. Sejumlah ekspedisi telah dikirim dari Eropa ke Maluku, ada yang berhasil dan adapula lebih banyak karam gagal di tengah laut.

Banyak korban jiwa berjatuhan. Maluku menjadi incaran banyak bangsa, ini membuktikan bahwa Maluku memang diciptakan Tuhan saat sedang tersenyum mesra. Maluku adalah magnet bagi para eksploitir dari dulu hingga detik ini.

Alam Maluku yang kaya raya ini tidak hanya memberi efek bagi nalar ekonomikus yang cenderung eksploitatif, tapi juga memberi efek terhadap bangunan eksistensial psikologis manusianya. Ke-mengada-an psikologis manusia Maluku ditentukan oleh relasi ontologis-nya dengan alam raya ke-Maluku-an.

Adalah Heidegger, salah satu filsuf yang serius membicarakan soal Ada, dalam penjelasannya bahwa manusia merasa dirinya Ada merupakan tragedi pasca ia mengalami faktisitas. Saat di bumi, manusia dengan ‘auslegug’ mencoba menginspeksi/menginterpretasi satu persatu dari pola-pola di alam raya.

Ibarat kita terlempar ke dalam kubus, sebelum kubus itu kita memahaminya, terlebih dahulu kubus itu menyingkapkan dirinya dihadapan kita sehingga membantu kita dapat menginspeksinya satu persatu, lalu disitulah terbentuk pengetahuan. Ketika pengetahuan tentang kubus itu telah kita peroleh, maka kita pun merasa ada di dalam kubus tersebut.

Ulasan di atas itu menunjukkan bahwa ke-mengada-an psikologis manusia Maluku tidak ditentukan oleh ‘cogito ergo sum’, melainkan ditentukan oleh proses ia membangun relasi ontologis dengan sesuatu di luar dirinya. Dalam kata lain, sesuatu di luar dirinya sangat kuat mempengaruhi ke-mengada-an manusia Maluku maupun sebaliknya. Itulah yang kemudian Saras Dewi dalam bukunya “Ekofenomenologi” menjelaskan bahwa karena relasi ontologis maka tercipta “kondisi ekuilibrium”.

Membicarakan eksistensi psikologis manusia Maluku seperti itu tak sekedar perkara filsafat, tapi juga dalam ilmu psikologi
sebagaimana Kurt Lewin, Albert Bandura, dan pakar-pakar beraliran Behaviorisme lainnya meyakini bahwa psikologis manusia ditentukan oleh faktor environmentalism dan kebebasan eksistensial. Berangkat dari proses itulah maka lahir konsep diri orang ke-Maluku-an yang tercermin dalam bentuk kebudayaan seperti praktik masohi, pela-gandong, dan lain seterusnya.

Mencermati pembahasan tersebut, lantas seperti apa konsep pendidikan yang mau kita terapkan di Maluku?Jawabannya adalah harus sesuai dengan konsep diri orang ke-Maluku-an itu sendiri. Disinilah saya mau bicara tentang Psikologi Pendidikan dalam Konteks ke-Maluku-an.

Psikologi pendidikan merupakan sub-kajian dalam psikologi. Psikologi pendidikan berbicara tentang kondisi psikologis manusia yang kaitannya dengan peserta didik, pendidik, iklim kelas, suasana sekolah, metode pembelajaran, gaya belajar, serta manajemen kelas, yang semua itu bertujuan mengembangkan potensi ke-manusia-an.

Dari sanalah maka output psikologi pendidikan bukan berupaya menjadikan seseorang pasca lulus langsung bisa kerja. Sebagaimana banyak orang mengira bahwa tujuan pendidikan adalah mempersiapkan individu langsung siap kerja. Lebih dari itu, output psikologi pendidikan selaras dengan hakikat pendidikan yakni mengembangkan potensi ke-manusia-an.

Untuk mengembangkan potensi ke-manusia-an orang Maluku dalam perspektif psikologi pendidikan, maka satu-satunya cara adalah menyediakan proses pendidikan yang imersi. Imersi adalah penyatuan individu dalam proses pendidikan yang sedang dijalaninya.

Masalah utama kita sekarang ini adalah belum menghadirkan proses pendidikan yang membuat individu dapat imers dengan materi pembelajaran. Olehnya itu, muncul kesulitan belajar bahkan mengerucut pada gagalnya proses pendidikan yakni ‘transfer of value’.

Untuk mengatasi kegagalan tersebut, maka proses pendidikan perlu memperhatikan seperti apa kondisi psikologis orang ke-Maluku-an agar strategi-strategi pembelajaran yang diterapkan sesuai dengan kondisi psikologis tersebut. Inilah pendidikan yang imersi, yakni pendidikan yang mempertimbangkan aspek psikologis orang lokal.

Saya ingin bercerita sedikit tentang riset kami di Huaulu beberapa bulan lalu. Saat kami berkunjung ke sana, anak-anak Huaulu mengatakan bahwa mereka sangat sulit mencerna pelajaran Bahasa Inggris. Namun, diantara mereka mengatakan, “Bahasa Inggris itu tidak susah, tapi saya tidak memahaminya”, ini merupakan ungkap minat mereka ingin mempelajari Bahasa Inggris tapi mereka mengalami kesulitan.

Apa yang membuat mereka mengalami kesulitan belajar?Hal itu disinyalir karena disebabkan oleh proses pembelajaran yang belum membuat mereka imers dengan materi pembelajaran. Olehnya itu, kami membuat intervensi dengan cara menyediakan proses pendidikan yang imers sesuai kondisi psikologis mereka.

Secara psikologis, kenyamanan mereka adalah saat bersentuhan dengan alam. Alam merupakan ladang bermain bagi mereka, sebagaimana alam juga diyakini memiliki nilai spiritualitas. Dengan mencermati kondisi psikologis mereka, maka proses pendidikan dalam rangka mengatasi kesulitan belajar itu kami berikan dengan cara membawa mereka belajar di tengah alam (yakni di hutan Kalasiwa).

Menariknya, pasca intervensi tersebut, mereka semakin berminat mempelajari Bahasa Inggris, hingga suatu saat mereka mengatakan bahwa, “Saya sekarang sangat menikmati pembelajaran Bahasa Inggris… saya merasa nyaman belajar seperti ini”. Jika individu sudah merasa nyaman maka ia akan terdorong mengatasi setiap kesulitan belajar yang dirasakannya.

Kasus tersebut merupakan satu diantara banyak hal yang membutuhkan penerapan pendidikan imers dengan mempertimbangkan kondisi psikologis orang ke-Maluku-an. Hal ini untuk menjawab seperti apa pendidikan yang mau kita terapkan di Maluku dalam rangka mengembangkan potensi ke-manusia-an orang Maluku kedepannya.

Hal itu memang penting, karena Maluku pasca kemerdekaan selalu berada pada posisi terbawah kualitas pendidikannya. Dengan demikian, membicarakan psikologi pendidikan dalam konteks ke-Maluku-an menjadi sangat penting, bila perlu menjadi diskursus yang harus kita diskusikan bersama secara terus-menerus kedepannya. Wallahua’lam. (***)