• Oleh : Saidin Ernas | Pengajar di Prog. Studi Pengembangan Masyarakat Islam IAIN Ambon

NAMANYA Pak Ali, usianya sekitar 65 tahun. Saya lupa menanyakan nama lengkapnya juga asal usulnya. Beliau hanya mengaku tinggal di sekitar Kampung Wara di depan sekolah Al-Madani di perkampungan sekitar Kampus IAIN Ambon. Saya menjumpainya secara tidak sengaja di depan Gedung Musik IAIN Ambon, ketika sedang jalan pagi pada Minggu pagi. Pak Ali sedang menggali lubang kecil untuk memasukkan bibit tanaman yang berada dalam sebuah kantong plastic hijau yang dibawah dari rumah. Wajahnya riang, mendorong saya untuk berhenti sejenaknya dan menyapanya.

Pak Ali bercerita bahwa ia sudah lama menanam pohon di lingkungan IAIN Ambon, mungkin sudah ada ratusan pohon yang ditanamnya, meski tidak semuanya tumbuh besar. Ada yang ditebang dan digusur untuk mengakomodasi berbagai proyek fisik yang terus dilakukan di kampus. Meski begitu, pak Ali mengaku akan terus menanam pohon, bukan hanya di lingkungan IAIN Ambon, tetapi dimana saja yang ada lahan kosong. Ia menyebut aktifitas tersebut sebagai amal jariyah yang tidak banyak disadari orang. Pohon-pohon yang ditanam tersebut akan tumbuh besar,rindang melindungi mereka yang berteduh dibawahnya, menjadi rumah bagi beragam mahluk, menjadi sumber oksigen bagi manusia dan lingkungan, serta berbagai manfaat ekologis lainnya.

Pak Ali tentu tidak sendiri ada beberapa rekan dosen dan pegawai di IAIN Ambon yang juga sering menanam pohon di lingkungan IAIN Ambon. Tetapi Pak Ali menjadi sosok yang istemewa dan inspiratif, karena ia bukan staf di IAIN Ambon, juga tidak tinggal di dalamnya, Namun dengan tekad yang tak luntur oleh usia, ia terus menanam pohon di sekitar kampus, ia bertekad menjadikan lingkungan lebih sejuk dan asri.

Kampanye Ekoteologi Islam

Apa yang dilakukan Pak Ali bukan sekadar aksi individu, tetapi mencerminkan nilai-nilai ekoteologi Islam—sebuah konsep yang menekankan keterkaitan erat antara keimanan dan tanggung jawab ekologis. Islam mengajarkan bahwa manusia adalah khalifah di bumi, yang bertugas menjaga keseimbangan alam sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an (QS. Al-A’raf: 31) dan hadis Rasulullah tentang pentingnya menanam pohon, bahkan jika kiamat segera tiba.

Gagasan ekoteologi Islam menjadi wacana baru yang mulai semarak dikampanyekan, tetapi miskin aksi. Wacana ini ibarat oase di tengah berbagai kritik kepada umat Islam, sebagai komunitas yang paling tidak peduli terhahadap lingkungan. Data Environmental Performance Index (EPI) 2024 dapat menjadi ukuran tentang bagaimana tingkat kepedulian lingkungan di negara-negara Islam yang sangat rendah. Negara dengan EPI terbaik tahun 2024 adalah Estonia, sebuah negara kecil di Eropa Timur, kemudian Luxemburg dan Jerman, keduanya juga berada di Eropa. Negara mayoritas Muslim dengan EPI terbaik adalah Uni Emirat Arab, itupun hanya ada di peringkat 53. Jangan tanyakan Indonesia, Republik tercinta ini memiliki perikat EPI yang sangat rendah atau berada erada pada peringkat 163 dari 180 negara di dunia.

Environmental Performance Index (EPI) merupakan indeks yang dikembangkan oleh Yale University bekerjasama dengan WHO untuk menilai kemajuan negara-negara dalam mitigasi perubahan iklim, memperbaiki kesehatan lingkungan dan melindungi ekosistem. EPI menghimpun 58 indicator lingkungan yang dirumuskan menjadi skor berskala 0-100, makin tinggi skornya, maka kinerja lingkungan suatu negara diasumsikan semakin baik, beberapa indicator tersebut antara lain; kualitas udara, sanitasi dan air minum, pengelolaan limbah, keanekaragaman hayati, pertanian, deforestasi, dan perlindungan ekosistem.

Itulah sebabnya para tokoh di negara-negara Islam perlu bekerja lebih keras lagi untuk meningkatkan kesadaran umat tentang pentingnya menjaga lingkungan (kesadaran ekologis). Hal ini menjadi urgen sebab menurut seorang peneliti lingkungan asal Pakistan bernama Munirul Islam (2018), ajaran atau perintah Al-Quran untuk merawat lingkungan jauh lebih banyak atau sekitar 119 ayat. Bandingkan dengan ayat-ayat tentang perintah sholat yang diperkirakan hanya sekitar 40 ayat, atau ayat-ayat tentang puasa yang hanya sekitar 20 ayat. Namun ironisnya komunitas Muslim merupakan kelompok yang danggap paling tidak peduli lingkungan.

Beberapa hal bisa menjadi alasan, seperti kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan dan lain sebagainya. Tetapi lebih dari itu pandangan keagamaan yang parsial, yang melihat ibadah-ibadah mahdhah jauh lebih penting dari ibadah ghairu mahdah seperti ibadah sosial ekologis dalam merawat lingkungan perlu menjadi catatan kritis dalam pemahaman keagamaan.

Aksi Nyata

Singkatnya kampanye ekoteologi Islam dalam bentuk yang nyata harus menjadi kesadaran keagamaan. Sudah saatnya materi-materi keagamaan, baik di lembaga pendidikan Islam maupun di mimbar-mibar khutbah perlu secara serius memperhatikan isu-isu lingkungan. Bahwa membuang sampah sembarangan adalah sebuah dosa, bahwa menebang pohon tanpa alasan yang jelas adalah dosa dan akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat kelak, dan seterusnya. Kesadaran seperti itu menjadi penting untuk terus diperkuat guna meningkatkan kepedulian pada pelestarian lingkungan.
Apalagi dunia sedang menghadapi krisis lingkungan yang semakin genting deawasa ini. Seperti bencana banjir, naiknya permukaan air laut, polusi udara, kebakaran hutan, pencemaran lingkungan dan masih banyak lagi. Maka di tengah krisis lingkungan global, tindakan sederhana seperti yang dilakukan Pak Ali menjadi pengingat bahwa setiap Muslim memiliki peran dalam menjaga kelestarian alam. Ekoteologi Islam bukan hanya wacana, tetapi harus menjadi gerakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Kampus IAIN Ambon, dengan kehadiran sosok seperti Pak Ali, menjadi bukti bahwa kepedulian terhadap lingkungan bisa dimulai dari hal kecil, berakar dari nilai-nilai Islam, dan memberi manfaat bagi generasi mendatang. Semoga..! (*)