• Oleh : M. Kashai Ramdhani Pelupessy
    • Akademisi IAIN Ambon

USIA kampus ini (selanjutnya dibaca: IAIN Ambon) terasa sudah cukup untuk melakukan refleksi. Terhitung pasca 1982 kelahirannya, kampus ini telah berusia 41 tahun. Usia yang sudah sangat dewasa dalam ukuran manusia. Jika kita bayangkan kampus ini ibarat manusia, maka usia 41 tahun ini menurut ilmuwan psikologi Erick Erikson ialah sudah masuk tahap ‘generativity versus stagnation’.

Artinya, pada usia itu, tantangan terberatnya adalah menjadi kampus yang berguna dan berani memberi kontribusi melampaui individualitasnya sendiri. Dalam kata lain, keberadaan IAIN Ambon di tengah arus perubahan zaman ini harus berani memberi suatu kontribusi intelektual demi kemajuan bersama.

Jika hal itu tidak terealisasi maka lembaga akademik ini akan mengalami stagnasi. Sebagai kawah candradimuka, apakah kampus ini sudah memberi kontribusi intelektualnya? Berkaitan dengan hal ini, saya perlu membedakan apa yang saya maksud kontribusi intelektual dengan paradigma kampus.

Kalau bicara paradigma kampus, ini lebih terkait visi-misi kampus ke depan mau menjadi kampus seperti apa. Yang membedakan antara satu kampus dari kampus-kampus lainnya adalah terletak pada perbedaan paradigmanya. Sampai disitu, saya rasa sudah cukup untuk membahas apa itu paradigma kampus.

Sementara yang saya maksud terkait kontribusi intelektual adalah lebih pada kontribusi seorang pemikir (cendekia; scholar) yang berani menuangkan intisari pokok pemikirannya bagi kemajuan masyarakat Maluku dan Indonesia secara luas. Di IAIN Ambon, kita masih minim memiliki seorang cendekia.

Secara pribadi, saya belum menemukan seorang cendekia di IAIN Ambon selevel Prof. Amin Abdullah, Prof. Komarudin Hidayat, Prof. Azyumardi Azra (alm), apalagi selevel Prof. Nurcholish Madjid. Jangankan untuk membayangkan, melihat kehadiran cendekia-cendekia seperti itu pun terasa belum ada di IAIN Ambon.

Terus terang saja, membayangkan IAIN Ambon memiliki cendekia-cendekia seperti itu ibarat langit dan bumi. Meskipun kampus ini belum punya cendekia-cendekia, namun bukan berarti hal itu tidak ada dan tidak bisa kita upayakan untuk ada. Kita masih punya banyak waktu untuk menggodok dan melahirkan seorang cendekia sekaliber tokoh-tokoh yang sudah saya sebutkan tadi di atas.

Kampus ini sangat menanti seorang cendekia yang kontribusi intelektualnya berdampak bagi masyarakat luas serta mengundang diskursus publik (dalam arti bukan sekedar viral). Dalam rangka mempersiapkan serta menggodok kelahiran seorang cendekia, maka ada beberapa faktor yang perlu menjadi perhatian bersama. Menurut saya ada tiga faktor, untuk selebihnya mungkin bisa ditambahkan oleh yang lainnya.

Pertama, mengintensifkan program diskusi internal dan publik. Sejauh ini, program diskusi yang kita jalankan masih terasa jalan di tempat. Program diskusi kadang diselenggarakan hanya mengejar momentum. Padahal, yang dibutuhkan adalah diskusi intensif yang bersifat tematik. Membahas segala problem dan fenomena yang sedang menghangat inilah yang perlu dilakukan secara rutin.

Kedua, mendorong para akademisi untuk menuangkan gagasannya di berbagai media cetak berskala lokal hingga nasional. Memang, menulis di jurnal terakreditasi Sinta hingga terindeks Scopus sangat penting. Tapi, usaha seperti itu hanya menguntungkan individualitasnya sebagai akademisi. Dalam kata lain, jurnal-jurnal yang ditulis para akademisi hanya memberi kontribusi bagi dirinya sendiri bukan orang lain. Sementara yang dibutuhkan masyarakat luas adalah kontribusi intelektual yang menguntungkan semuanya secara kolektif.

Ketiga, keran ijtihad di kampus harus dibuka lebar-lebar sehingga terbangun diskursus pemikiran di kalangan internal akademisi. Akademisi IAIN Ambon harus berani mengajukan ijtihadnya sendiri secara berani, independen, dan penuh percaya diri. Saya melihat, kita masih mengekor pada ijtihad-ijtihad yang sudah digagas para pemikir-pemikir sebelumnya. Corak pemikiran dari akademisi IAIN Ambon belum berani menjadi pembeda.

Itulah tiga faktor yang saya pikir bisa melahirkan kontribusi intelektual. Jujur, kampus ini sudah sangat sepi kontribusi intelektual. Di usia 41 tahun, sejatinya kampus ini layak melahirkan seorang cendekia sekaliber Prof. Amin Abdullah, Prof. Azyumardi Azra (alm), Prof. Komarudin Hidayat, dan lain-lain. Semoga di masa depan, kampus ini memiliki cendekia-cendekia seperti itu. Aamiin. Sekian. (***)