• Oleh : Muh. Kashai Ramdhani Pelupessy
    • || Akademisi IAIN Ambon

SIAPA yang tak kenal Nurcholish Madjid? Yang biasa disapa Cak Nur itu? Di kalangan aktivis, nama itu sudah pasti sangat familiar. Nama beliau tak hanya populer di kalangan aktivis HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), tapi juga menjelajah sampai ke telinga aktivis PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia).

Cak Nur juga Gus Dur adalah orang Jombang asli. Beberapa tahun lalu, kalau tidak salah di Haul Gus Dur, Gus Mus dalam sambutannya sempat mengatakan, “Wong Jombang iki otake akeh” (Orang Jombang ini pikirannya banyak). Dan memang faktanya begitu. Jombang tidak hanya sebagai kota santri adem-ayem saja, tapi dari sana lahir orang-orang luar biasa, seperti Gus Dur, Cak Nur, bahkan yang lebih agung lagi ialah Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari.

Saat ini, Haul Cak Nur sudah berusia 18 tahun. Sebagaimana juga Gus Dur, meskipun jasad mereka sudah meninggalkan kita semua, namun gagasan-gagasan mereka masih terus hidup dan selalu relevan dengan konteks masa kini. Cak Nur dalam beberapa kesempatan selalu menyitir adigium kuno, “Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan kenang atau amal shaleh”. Usia amal shaleh jauh lebih panjang dibanding usia biologis manusia itu sendiri, kata Cak Nur. Pernyataan ini pas dengan konteks Cak Nur dan Gus Dur, bahwa usia amal mereka jauh lebih panjang dibanding usia biologis itu sendiri.

Terkait gagasan Cak Nur yang masih relevan dengan konteks sekarang ini ialah idenya tentang sekularisasi. Menurut Cak Nur, dalam terjemahan bebasnya, bahwa sekularisasi ialah proses kita mendesakralisasikan segala hal yang berbau duniawi. Sesuatu yang profan harus dipandang sebagai profan, tidak boleh dianggap sebagai sakral. Di tengah arus kebebasan yang tak menentu, hampir banyak kita temukan setiap orang mulai mensakralkan hal-hal profan. Padahal, sejatinya itu tidak pas sebagai insan yang telah bertauhid. Mendesakralisasikan hal-hal yang berbau duniawi tersebut bukan hanya seputar sistem pemerintahan (seperti sistem khilafah), tapi juga terkait diri kita sendiri. Olehnya itu, sekularisasi dalam ulasan ini tak hanya fokus pada masalah mendesakralisasikan sistem pemerintahan tapi juga terkait mendesakralisasikan diri sendiri.

Misalnya, saat ini kita melihat banyak orang yang mensakralkan identitasnya sendiri. Kadang saya merasa aneh ketika melihat ada orang yang tersinggung gara-gara identitasnya di kritik. Padahal identitas itu tidak statis, tidak mutlak, dan tidak permanen. Identitas yang melekat pada diri kita itu sejatinya sangat dinamis dan bersifat profan. Saya sering mengambil contoh yang paling sederhana adalah dari diri saya sendiri misalnya begini; kadang identitas saya di waktu tertentu adalah sebagai dosen, terus ketika saya balik ke rumah saya sebagai anak juga suami, kemudian di waktu lainnya saya sebagai apa dan seterusnya. Saya merasa identitas saya sangat dinamis alias tidak tunggal.

Identitas yang saya maksud disini adalah tentang segala sesuatu yang melekat pada diri kita. Baik itu berupa jabatan, gelar, status, dan lain sebagainya. Karena identitas itu tidak tunggal dan bersifat profan, maka sangat aneh apabila kita menganggap identitas itu sebagai sesuatu yang mutlak kita miliki. Akibatnya, kita marah jika ada orang yang mengkritik identitas tsb. Problemnya terletak pada keinginan kita seolah-olah merasa memiliki identitas itu secara mutlak. Sekali lagi, padahal identitas itu tidak mutlak.

Yang paling mengkhawatirkan adalah ketika masing-masing individu sudah saling merasa bahwa identitas itu sebagai sesuatu yang mutlak, maka disinilah terjadi benturan (konflik). Solusinya… ini semua tergantung cara pandang kita melihat identitas itu sendiri. Jika kita menganggap identitas itu sebagai sesuatu yang mutlak, maka kita akan cenderung marah jika ada orang mengkritik identitas kita. Sebaliknya, jika kita anggap bahwa identitas itu sejatinya sangat dinamis dan bersifat profan, maka kita cenderung tidak marah apabila ada orang yang mengkritik identitas kita. “Identitas itu bukan barang yang sakral… identitas itu bersifat profan dan sangat dinamis”.

Jika kita perhatikan dari kacamata Cak Nur, maka bisa dikatakan bahwa mengagungkan identitas itu sejatinya masuk dalam gejala “terlalu mensakralkan hal-hal profan”. Dalam konteks tersebut, ide Cak Nur tentang sekularisasi menjadi sangat relevan. Ide sekularisasi ini dapat menghantarkan kita menjadi pribadi yang lebih ber-Tauhid. Bukan tauhid ala kacamata kuda, tapi tauhid yang lebih terarah, progresif, dan rasional. Selain itu, yang paling mengugah lagi ialah sekularisasi mendorong kita menjadi pribadi yang lebih bijak memandang sekaligus memilah mana wilayah sakral dan mana wilayah profan yang akhir-akhir ini mulai tumpang-tindih.

Berangkat dari keseluruhan ulasan di atas, maka dapat dikatakan bahwa ide Cak Nur tentang sekularisasi ini masih sangat relevan. Sebagai wujud apresiasi atas ide besar itu, maka sejatinya harus di aktualisasikan dalam wujud konkrit di lapangan. (***)