- Oleh: Muh Kashai Ramdhani Pelupessy
- | Dosen Psikologi IAIN Ambon & Pengurus Cabang NU Kota Ambon
TAHUN 2018 lalu, terdapat satu kasus terorisme yang paling menggemparkan Indonesia. Kasus itu tepat terjadi di kota Surabaya. Ironisnya, pelaku adalah satu keluarga rela melakukan bom bunuh diri atas nama “jihad fi sabilillah”. Kejadian paling aneh karena baru pertama kali dalam sejarah kasus terorisme di Indonesia, satu keluarga terlibat dalam aksi brutal tersebut.
Penyebabnya apa? Sehingga ada orang yang mau terlibat dalam aksi terorisme? Pakar psikologi terorisme, almarhum Prof. Sarlito dengan merujuk pendapat Roy Eidelson dan Judy Eidelson menjelaskan bahwa, “Ada lima ide berbahaya yang memungkinkan seseorang melakukan kekerasan yakni superioritas, ketidakadilan, ketidakpercayaan, ketidakberdayaan, dan kerentanan”.
Satu variabel yang paling menarik dari pernyataan akademis tersebut adalah tentang kerentanan. Jika individu mengalami kerentanan cenderung membuatnya bertindak agresif (arogan) atau bisa juga cemas hingga berujung pada pilihan bunuh diri. Itulah mengapa, pelaku terorisme berani melakukan bom bunuh diri adalah kemungkinan disebabkan oleh frustasi, cemas, dan agresif karena mengalami kerentanan secara psikologis.
Dalam kasus di atas, baru pertama kali perempuan terlibat dalam aksi terorisme tersebut. Bagaimana peran perempuan dalam kelompok terorisme yang mengatasnamakan sebagai kelompok jihadis itu?. Ada satu buku yang diterbitkan Maarif Institute dengan judul “Khilafah dan Terorisme” sempat menyinggung seperti apa peran perempuan dalam kelompok terorisme.
Dalam buku itu menjelaskan peran perempuan dalam kelompok terorisme yakni pertama sebagai pengikut. Perempuan dalam kelompok terorisme kerap menjadi pendamping setia dari pasangan mereka (laki-laki) yang adalah pelaku terorisme. Peran perempuan sebagai pendamping disini adalah bukan sebagai aktor utama, melainkan mereka sebagai bagian dari domestikasi laki-laki untuk melanggengkan aksi-aksi terorisme.
Kedua, perempuan sebagai propaganda dan agen perekrutan. Anda masih ingat dengan kelompok ISIS? Kelompok ini dalam proses perekrutannya melibatkan peran perempuan. Para perempuan dari kelompok ISIS itu biasanya merekrut orang-orang dari negara lain melalui Sosmed (Sosial Media). Ketiga, perempuan berperan sebagai ‘boomber’ (pelaku bom bunuh diri). Dalam kasus bom bunuh diri di Surabaya yang sudah saya sebutkan tadi di atas itu pelakunya adalah perempuan. Mengerikan.
Mengapa kelompok terorisme belakangan ini kerap melibatkan perempuan? Ada beberapa faktor sehingga perempuan cenderung dilibatkan dalam aksi-aksi terorisme. Pertama, faktor religius seperti keinginan mereka terlibat dalam aksi terorisme adalah sebagai bagian dari tujuan persaudaraan perempuan khalifah.
Kedua, faktor ideologis yakni perempuan mudah terdoktrinisasi dengan paham-paham jihadis ekstrimis. Ketiga, karena faktor pribadi yakni pernah mengalami pengalaman pahit di masa silam sehingga mendorongnya ingin mencari kedamaian hidup. Dalam situasi yang pahit secara psikologis lalu kemudian terdoktrinisasi dengan narasi kedamaian dapat dicapai melalui aksi-aksi terorisme maka hal itulah yang mendorong perempuan mau terlibat dalam aksi terorisme.
Ketiga faktor itulah yang memungkinkan para perempuan terlibat dalam aksi terorisme. Di satu sisi penelitian psikologi yang dilakukan Mirra Noor Milla dan kawan-kawan sangat menarik. Penelitinya berjudul “The impact of leader-follower interactions on the radicalization of terrorists: A case study of the Bali boombers”, terbit dalam Asian Journal of Social Psychology. Dalam penelitian itu menjelaskan bahwa proses radikalisasi dapat terjadi pada diri seseorang karena ada interaksi intens antara pimpinan kelompok teroris dengan pengikutnya.
Disamping itu, interaksi yang intens itu melalui lima tahap yakni pra-radikalisasi, identifikasi diri, indoktrinasi, komitmen, dan ideologisasi. Dalam penelitian lainnya yang juga dilakukan Mirra Noor Milla bersama teman-teman penelitinya berjudul “Stories from jihadists: Significance, identitas, and radicalization through the call for jihad”, menjelaskan bahwa seseorang dapat menjadi pelaku teroris karena terpengaruh narasi dan cerita-cerita radikal yang ditanamkan dalam pikiran sadar seseorang.
Temuannya juga mengungkapkan bahwa ekspresi harga diri yang dimotivasi oleh kebutuhan untuk mencari makna hidup di mata Tuhan memungkinkan seseorang terlibat dalam aksi terorisme. Referensi yang paling menarik juga dipaparkan oleh almarhum Prof. Sarlito (pakar psikologi terorisme) menjelaskan bahwa ada empat jalur seseorang terlibat dalam aksi terorisme dalam perspektif psikologi yakni pertama karena rustasi masa lalu dan kehilangan makna hidup.
Kedua, ada upaya mencari makna hidup tapi yang ditemukan adalah ajaran yang salah dalam beragama. Ketiga, terpapar dengan paham radikal saat terlibat dalam kelompok terorisme yang cenderung menjadikan agama sebagai satu-satunya jalan, jihad fi sabilillah merupakan cara menemukan makna hidup. Terkahir, keempat adalah akumulasi dari ketiga proses di atas yakni ‘suicide bomb’ yakni meyakini bahwa bom bunuh sebagai jalan mendapatkan pahala dari Tuhan.
Seluruh penjelasan di atas menunjukkan bahwa tampaknya faktor utama seorang (dalam hal ini adalah perempuan) terlibat dalam aksi terorisme adalah karena mengalami kerentanan secara psikologis. Yakni kerentanan kognitif (rendahnya pengetahuan agama) serta kerentanan emosional (pernah mengalami pengalaman pahit di masa silam sehingga mendorongnya ingin mencari makna hidup melalui ajaran agama yang keliru). Kerentanan secara psikologis inilah yang memungkinkan seorang perempuan terlibat dalam aksi terorisme. Mengerikan. (***)