Oleh: Arman Kalean, M.Pd | Akademisi
SHOLAWAT dan salam tercurah kepada Baginda Sang Revolusioner Akhlakul karimah (Akhlak yang baik), Sang Kausa Prima (sebab utama) bagi terbentuknya Alam Dunia Manusia, Nabi Muhammad SAW. Hanya karena di´a, kekasih Allah SWT, yang menjadi sebab mutlak, yang membuat kita akhirnya meng-ada atau di-adakan oleh Allah SWT. Begitulah keyakinan yang dianut oleh umat Muslim, jauh sebelum jasad Nabi Adam AS diciptakan, telah ada penanda yang mengindikasikan bahwa Nabi Muhammad SAW akan datang, sebagai Rasul penutup.
Dengan begitu, proposal penciptaan Nabi Adam AS adalah sebagai pengantar untuk membuka kehadiran Nabi Muhammad SAW dalam wujud Manusia. Demikianlah takdir mengarahkan kita umat Muslim untuk menjiwai makna Nabi dan Rasul, tentu sebagai sesuatu yang berbeda dengan makna Rasul bagi umat Non Muslim. Misalnya, terminologi Rasul di dalam Teologi Kristen. Dimana penyematan Rasul bisa kepada utusan Yesus, contohnya Rasul Petrus.
Singkatnya, Nabi boleh banyak, sementara keberadaan Rasul hanyalah sebatas 25 Orang. Dengan kata lain, spektrum dakwah Nabi bisa terbatas, sementara Rasul memiliki spektrum dakwah yang jauh lebih luas dan kompleks. Dan, yang paling luas dan kompleks bagi seluruh alam, tidak lain dan tidak bukan adalah baginda Nabi Rasulullah Muhammad SAW.
Isra Mi´raj dalam Bilik Filsafat
Seperti halnya kebutuhan dari Agama-agama untuk menopang keyakinannya, maka letak ruang dalam filsafat, alias kamar-kamar dalam rumah filsafat itu harus diposisikan secara jelas dan gamblang. Sebab, teologi atau segala macam hal yang berhubungan dengan Agama, miliki ruang tersendiri dalam Filsafat.
Dari Ontologi (mengapa sesuatu itu ada), Epistemologi (bagaimana sesuatu itu ada), hingga Aksiologi (manfaat dari sesuatu yang ada tadi itu). Kita dapat menggunakannya untuk mengkodifikasi letak kedudukan Isra Mi´raj, di dalam kamar-kamar tersebut.
Untuk Isra (perjalanan) dan Mi´raj (naik ke atas), tentu mengandung arti secara sederhana, guna menjelaskan bahwa peristiwa yang tidak sampai semalam penuh itu, Rasul SAW berhasil menembus Batasan-batasan tentang makna ke-Ilahi-an, yang hanya mampu diikuti oleh Nabi Muhammad SAW, sebagai manusia yang ditentukan oleh Allah SWT.
Dengan begitu, dapat kita pahami bahwa setiap Agama yang memiliki klaim kebenaran (claim of truth), dan klaim kebenaran (claim of salvation), akan berusaha secara serius untuk mengukuhkan fondasi keagamaan yang diyaknininya, setidaknya sejak ia lahir ke muka bumi.
Kembali ke Filsafat, Isra Mi´raj hanya mampu dibaca, diyakini, dan dipedomani hanya saat ia benar-benar keluar dari belenggu Filsafat. Hal tersebut, mengindikasikan bahwa Isra Mi´raj sebagai pedoman bagian dari kemutlakan keyakinan Nubuat baginda Nabi Muhammad SAW, yang resmi sebagai wujud menjalankan kewajiban sholat 5 waktu, dan juga kewajiban sholawat kepada Nabi Muhammad. Sholawat dan Sholat adalah buah tangan dari perjalanan Isra Mi´raj Nabi Muhammad, Rasul SAW.
Mengingat, secara gramatikal Arab, kata: Yusholluna ala Nabi, termasuk ke dalam Fiil Mudhori alias tenses (aturan tata Bahasa) yang berlaku sejak suatu peristiwa sementara berlangsung, hingga peristiwa di masa-masa depan nantinya (past future tenses).
Selanjutnya, melihat dinamika belakangan ini, semestinya Anak-anak muda perlu dicerdaskan bahwa untuk menopang aqidah (keyakinan mutlak) terhadap suatu Agama tertentu, hendaknya memperhatian latar belakang dari para Deklator tersebut.
Belakangan ini, banyak pengamat yang mengaburkan antara Ontologi dan Epistemologi saat menyinggung antara Kitab Suci sebagai fiksi, dan arus protes yang anti terhadap narasai tersebut. Sebut saja Rocky Gerung (RG), baru-baru lalu. RG gamang, tidak menempatkan secara bijak kamar teologi di dalam ontologi ataukah epistemologi. RG menggunakan narasi Fiksi, yang notabene milik Ilmu Linguistik, yang mana Ilmu Linguistik adalah turunan dari Filsafat Ilmu, dari Epistemologi.
Sementara RG sengaja luput dari ontologi yang menyediakan ruang terhadap sejumlah pembahasan mengenai Demenologi (ilmu tentang Iblis), Angelologi (Ilmu tentang Malaikat), dan Eskatologi (Ilmu tentang hari depan/akhirat). Jadi, bila ada oknum yang menempatkan Kitab Suci sebagai fiksi, maka apapun caranya, ia sebenarnya telah keliru memosisikan kamar Ontologi dan Epistemologi.
Sebab dalam Ilmu Linguistik, dengan sekelumit aturan, antara Agama Islam dan Non Muslim akan menemukan posisi dimetral saat penyebutan RASUL dan penyebutan NABI. Artinya, Isra Mi´raj adalah suatu peristiwa yang dilakukan oleh Nabi SAW sebagai “penghiburan” terhadap sejumlah peristiwa yang dialami Nabi Muhammad SAW, yang sekaligus termuati rukun Islam kedua (Sholat 5 waktu).
Untuk itu, sholat tidak dapat ditempatkan dalam kamar epistemologi. Sholat tidak bisa dirasionalisasi, dari mana asal muasal “sebab pengetahuan” sholat. Apalagi, sekedar diturunkan lalu dibaca dari sudut pandang Filsafat Ilmu atau sudut pandang Sains.
Sholat hanya dapat dilihat aksiologinya, bila diturunkan lagi, Sholat dan Puasa (rukun Islam ketiga) barangkali hanya bisa dilihat dalam kaca mata manfaat medical, yang sangat duniawi sekali. Lain hal, Ketika menyinggung manfaat hari akhirat, maka sholat akan kembali ke dalam kamar ontologi.
Maka bagi mereka yang tidak sholat, pasti berdosa. Tidak boleh sholat dirasionalisasi dengan segala macam reduksi dari segi Ilmu Bahasa (turunan epistemologi), menjadikan artinya Sholat hanya sebatas berdoa saja (karena kaitan etimologi semata). Sholat 5 waktu merupakan sholat yang sebagaimana diajarkan oleh Ulama, dari kelengkapan rukun dan proseduralnya, tidak bisa disingkat-singkat semaunya.
Sengaja saya tekan hal tersebut, sebab belakangan ini masih ada orang yang mengaku cukup sholat bathin, sholat yang beyond syariat (malampaui syariat). Ada semacam keyakinan sufistik yang mulai melenceng dengan melakukan rasionalisasi terhadap sejumlah makna Sholat 5 waktu tadi, berdampak pada menjadikan enteng praktik sholatnya. Inilah konsekuensi dari menempatkan Isra Mi´raj, berikut muatan Isra Mi´raj tadi (Sholat 5 waktu) ke dalam kamar epistemologi.
Memang dalam lingkup sufistik, kita akan mendebatkannya cukup jauh. Hanya saja, dalam konteks Isra Mi´raj, sholat 5 waktu adalah bagian yang tidak bisa ditawar, alias diartikan sesederhana yang kita kira, dan bisa jadi yang kita kira-kira itu bukan merupakan ke-otenti-kan tangkapan spiritual ala Wali Allah (kekasih Allah). Mungkin di kesempatan lain, saya akan membahas sekilas tentang orisinalitas portal-portal gaib dan tangkapan-tangkapan spiritual yang otentik.
Isra Mi´raj dan Fisika Modern
Membandingkan Allah SWT dengan sesuatu apapun adalah haram. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia (lihat: QS. Al-Asyura: 11). Lantas, apakah boleh mencoba untuk membaca muatan dalam Teologi menggunakan Sains?
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa kamar dalam filsafat harus diberi demarkasi yang jelas. Jika kita hendak membacanya, paling tidak pada dampak-dampak setelah menjalankan praktik berteologi. Misalnya, dampak sholat dan puasa dari segi medis.
Berat rasanya kalau kita hendak membaca, apalagi dengan niat membenarkan peristiwa di luar nalar dalam teologi Islam, misalnya Isra Mi´raj dari segi Sains. Kita tahu bahwa Sains diturunkan dari Filsafat Ilmu, Filsafat Ilmu kamarnya adalah epistemologi. Dan, Sains yang berisi sekelumit Teori bisa berpotensi dapat salah, bisa diisi/dilengkapi oleh teori lain (fillable).
etapi, kita sepakat bahwa di era ini, Fisika Klasik telah sampai pada puncaknya. Fisika Modern, akan terus berkembang. Perkembangan Fisika Modern, tentu tidak menegasikan (meniadakan) Teori-teori yang ada dalam Fisika Klasik. Sebab, Teori-teori itu ada pada ruang yang terbatas. Jadi, dinamika Fisika menjadi tak masalah. Masalah, baru akan muncul bila kita menggunakan standar klasik pada ruang terbatas untuk mengukur suatu peristiwa fisis pada ruang yang tak terbatas, misalnya persamaan standar dari Newtonian, hendak digunakan dalam ruang kuantum.
Dengan begitu, kita tidak dianggap sekedar cocoklogi belaka. Mencari-cari pembenaran sekenanya saja pada peristiwa di luar nalar, yang kita Yakini, Imani sebagai bagian integral dari orang Islam. di kesempatan ini, saya hanya mengulang ulasan dari para Saintis Islam yang coba melakukan Saintifikasi Islam, namun tidak berlebihan, masih pada rel Sains itu sendiri.
Dalam konteks Isra Mi´raj, saya mungkin akan dianggap melakukan metanarasi (lihat: pikiran dari Jean Francois Lyotard) terhadap beberapa term atau diksi, yang mungkin masih bisa terus didebatkan. Misalnya kata Buraq yang digambarkan sebagai kendaraan Rasul SAW, kata ini berarti secepat kilat (berasal dari al-Bariq atau al-Barq, yang artinya kilauan atau kilat).
Ketika membaca Q.S Ibrahim ayat 4, maka setiap Rasul diutus dengan Bahasa kaumnya, agar ia dapat memberi penjelasan kepada kaumnya. Tentu, kontekstualisasi Bahasa (Lihat: konsep Qaulan Baligha dan konsep Qaulan Layyinan), cara penyampaian, disesuaikan dengan setting historical pada saat itu. Imajinasi Buraq, boleh dibayangkan bentuknya dan didebatkan oleh Ulama. Akan tetapi dari sisi Sains, kecepatan Buraq sudah terkodifikasi dari nama Buraq itu sendiri.
Maka, dapat dikatakan bahwa Rasul SAW melakukan Isra Mi´raj menggunakan sejenis kendaraan atau wahana yang kecepatannya dibayangkan oleh penduduk pada saat itu ibarat kilatan. Saking cepatnya, dengan standar modern, mungkin saja lebih dari kecepatan cahaya (299.792.458 m/s).
Masih dengan meta narasi, Baginda Muhammad SAW berangkat dari tempat sujud yang ditinggalkan (Masjid al-Haram). Tempat sujud, berarti Masjid. Dan, Haram dapat diartikan secara etimologi sebagai sesuatu yang ditinggalkan. Makanya Masjidil Haram bukan berarti Masjid yang dilarang Sholat, tetapi Masjid yang ditinggalkan saat Isra Mi´raj. Menuju ke tempat sujud yang ada di ujung/terjauh (Masjid al-Aqsa).
Tidak berhenti di situ, masih dalam Fisika modern. Terdapat konsep dilatasi panjang dan dilatasi waktu. Suatu yang bergerak saking cepatnya, tidak akan merubah bentuknya. LIhat pemindahan Singgasana Ratu Balgis, tidak rusak sebentuk pun. Pemindahan ini tidak bisa anda maknai seperti anda bergantungan di sayap pesawat, tentu saja wajah anda akan rusak parah, baju anda akan sobek. Tetapi perpindahan yang sangat cepat, sebelum satu kedipan mata, maka benda (singgasana) itu tidak akan mengalami kerusakan, saking cepatnya.
Artinya, perjalanan Isra Mi´raj itu dapat melipat ruang dan waktu, menuju pada dimensi yang lebih kompleks dari ini (3 Dimensi, X, Y, Z), ataukah menuju pada sesuatu yang di luar alam pikir Sains tentang Dimensi-dimensi tadi.
Andai anda menggunakan pandangan terbaru dalam Fisika, yakni teori M, mungkin kita akan mendebatnya semakin kompleks. Sebab dalam Teori M, Atom tidak sebulat yang kita bayangkan. Ia seperti dawai yang bergetar, makanya disebut juga String Theory, dengan begitu maka angka phi (3,24) akan runtuh, seturut keajegan teori dan logika matematis Fisika selama ini.
Lantas, apakah kita masih harus tetap menjiwai Islam dengan Sains? Selama anda tidak menjadikan Sains sebagai satu-satunya penopang Aqidah (turunan dari Ilmu Kalam), maka boleh saja. Yang penting diingat, kita tidak boleh menggantungkan kebenaran Islam kepada fakta-fakta Sains belaka. Ada kamar Filsafat, ada batasan Sains, ada tangkapan spiritual tersendiri pada masing-masing individu yang membuat tebal tipisnya Iman seseorang, dari segi pikiran (kerja Otak) dan dari segi perasaan (kerja “Hati”). Wallahu A´lam Bishawab. (***)