ALMULUKNEWS.COM, AMBON, — Jika Pendidikan bertujuan untuk memanusiakan manusia dalam pembangunan peradaban, maka Pendidikan karakter berujung pada kesadaran mengenai Tuhan dalam posisi sebagai hamba dan khalifah. Dalam Islam akhlak berrelasi dengan khalik (pencipta, Tuhan) sehingga setiap orang yang berakhlak mengimplementasikan ajaran agama dan budaya yang bertujuan untuk ketertiban sosial (social order) demi mencapai kesejahteraan hidup bersama yang diupayakan secara sistemik dalam bentuk hidup bernegara.

Hal ini disampaikan Sosiolog IAIN Ambon Abdul Manaf Tubaka, dalam Forum Business Matching dan Penguatan Ekosistem Kemitraan 2024 yang diselenggarakan Politeknik Negeri Ambon (Polnam) dan Politeknik Perikanan Negeri (PPN) Tual, Selasa (16/7/2024).

Menurut Manaf Tubaka, secara sosio-antropolgis, manusia Maluku telah dengan sadar dan sistematis mengajarkan pola pendidikan karakter secara informal.

“Persoalannya adalah apakah kita masih terdengar di telinga kita nasehat para tetua itu? dan apakah nasiha para tetua itu masih berlaku?,” ujarnya dengan nada tanya.

Dosen Program Studi Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Ambon ini menjelaskan, pendidikan karakter kena mengena dengan pendidikan akhlak, yaitu upaya sadar dan sistematis membentuk kepribadian manusia seutuhnya (jiwa dan raga) yang cinta pada kejujuran dan kebenaran dan bertanggung jawab. Dalam Islam dikenal dengan Takhallaku bi akhlakillah.

Hai ini sebagaimana tujuan bernegara yang secara filosofis disebutkan membentuk kepribadian manusia Indonesia sebagaimana dirumuskan dalam UU yakni ..ʼmembentuk manusia susila yang cakap, demokratis dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah airʼ.

Manaf menjelaskan, pendidikan karakter ditegaskan secara konstitusional dalm bentuk undang undang, yakni UU No 20 tahun 2003, UU No 2 tahun 1989, UU No 12 tahun 1954, dan UU No 4 tahun 1950 sebagai ujung tombak membangun generasi tangguh Indonesia yang dicirikan oleh perilaku bermoral, berintegritas, bertanggung jawab, dan demokratis, justru ditunjukkan oleh fakta sebaliknya sehingga menjadi isu krusial (mendesak) untuk dicarikan jalan keluarnya.

“Studi yang ada memperlihatkan bahwa perilaku immoral telah menyentuh anak-anak di usia Sekolah Dasar (Hakam, 2015). Di antara mereka ada yang terlibat narkoba, tindakan kekerasan antar teman, seksualitas, bahkan sampai pembunuhan. Fakta tersebut telah banyak berpengaruh terhadap pembentukan karakter anak didik dalam jangka panjang. Studi lain juga memperlihatkan kegagalan penerapan Pendidikan karakter dengan memperlihatkan lima variable yaitu (1) orang tua, (2) sekolah, (3) masyarakat, (4) media, dan (5) kondisi terkini dengan kebiasan baru,” papar Manaf.

“Karena itu, dibutuhkan pemahaman yang mendalam tidak saja tentang apa itu Pendidikan Karakter, mengapa diperlukan dan bagaimana dampaknya, tetapi juga bagaimana tanggung jawab,” imbuhnya.

Terkait pembudayaan pendidikan karakter, menaf menjelaskan, perlu ditingkatkan pembudayaan nilai-moral secara integral melalui proses pendidikan serta melalui proses kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sehingga perlu dirancang (pembudayaan nilai moral) secara sistemik dan utuh dalam sistem pendidikan nasional, dan secara praksis diciptakan jaringan serta iklim sosial kultural yang memungkinkan terjadinya interaksi fungsional pedagogis antara kegiatan-kegiatan di sekolah dan di luar sekolah.

Selain itu, proses pembudayaan relevan dengan basis budaya suatu masyarakat dimana pendidikan karakter tidak lepas dari lingkungan sosial budaya di mana anak didik tumbuh. (Keket)

Dikutip dari https://porostimur.com dengan judul yang sama.