Rektor IAIN Ambon, Prof. Dr. Zainal Abidin Rahawarin, M.Si saat memberikan Kuliah kepada mahasiswa IAIN Ambon di Ruang Aula Kantor Dinas Pendidikan Malra, Sabtu, 1 Maret 2024.

ALMULUKNEWS.COM, MALUKU TENGGARA, — Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon, Prof. Dr. Zainal Abidin Rahawarin, M.Si bersama Direktur Pascasarjana, Prof. Dr. La Jamaa, M.H.I, memberikan kuliah kepada mahasiswa program kerjasama dengan Kabupaten Maluku Tenggara, yang dipusatkan di Ruang Aula Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Malra, Sabtu, 1 Maret 2024.

Kuliah yang berlangsung selama kurang lebih dua jam tersebut dipandu oleh Dosen Prodi PGMI, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FTIK), Dr. Anasufi Banawi, M.Pd.

Hadir juga Ketua Prodi PAI IAIN Ambon, Sadam Husein, M.Pd.I dan Ketua Jurusan Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI), Darwis Amin, S.E., M.M.

Para mahasiswa yang tergabung pada Program Studi Pendidikan Agama Islam dan Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah FITK ini, sangat antusias mengikuti kuliah yang dibawakan Rektor IAIN Ambon, Prof. Dr. Zainal Abidin Rahawarin dengan pokok pembahasan Kewarganegaraan. Mereka adalah para guru dan pegawai yang tergabung sebagai mahasiswa dalam kerjasama Dinas Pendidikan Kabupaten Maluku Tenggara dengan IAIN Ambon.

Dalam pertemuan ini, Rektor membagikan materinya dalam lima pokok pembahasan meliputi; Civic Education, Civius, Citizenship, City State, dan Nation State. Istilah Civic Education mengikuti perkembangan dan regulasi. Awalnya, Civic Education diperkenalkan dalam pembejalaran siswa atau mahasiswa dengan pendidikan moral Pancasila. Seiring waktu, mata kuliah atau mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila ditransformasi menjadi Civic Education pada awal tahun 2000-an hingga saat ini.

Rektor IAIN Ambon, Prof. Dr. Zainal Abidin Rahawarin, M.Si saat memberikan kuliah kepada mahasiswa IAIN Ambon, kerjasama dengan Pemkab Malra di Kantor Dinas Pendidikan Malra, Sabtu, 1 Maret 2024.

Dalam uraian nation state, dikatakan Rektor, sejarah perkembangan kehidupan masyarakat dalam konteks kenegaraan berlangsung cukup lama, yang dimulai dari masa Romawi hingga kini. Di Indonesia sendiri, sebelum negara dibentuk, masyarakatnya sudah hidup secara nomaden. Meski tidak terstruktur, masyarakat hidup membentuk kesatuan yang mengidentifikasi mereka sebagai suatu suku warga. Kehidupan nomaden masyarakat di Indonesia, masih berlangsung sampai kini, kendati masyarakat berada di era modern. Ada alasan di mana masyarakat nomaden tidak ingin meninggalkan kehidupan mereka, dan berbaur pada kehidupan modern. Alam tetap menjadi satu kesatuan untuk kelangsungan hidup mereka, urai Prof. Zainal.

Kini, masyarakat Indonesia tengah berada di abad 21, yang ditandai sebagai abad keterbukaan atau abad globalisasi. Artinya, kehidupan manusia pada abad ke-21 mengalami perubahan-perubahan yang fundamental, yang berbeda dengan tata kehidupan dalam abad sebelumnya. Kehidupan saat ini, tengah ditandai dalam era digitalisasi yang setiap saat mengalami perkembangan dan perubahan.

Masyarakat Maluku khususnya, pesan Rektor kepada para mahasiswa, agar tidak boleh tertinggal. Masyarakat harus tetap mengikuti perkembangan zaman ini dengan tekun belajar dan menimba pengalaman. Sehingga, era globalisasi saat ini, tidak menjadi hambatan untuk kemajuan masyarakat baik di kota maupun di pelosok desa.

Hal yang masih terjaga di era modernisasi saat ini, yakni tatanan adat-istiadat di tengah kehidupan masyarakat. Di mana, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, adat-istiadat dipandang sebagai sisi kehidupan yang harus dijaga dan dipelihara. Sebab, adat-istiadat masih memegang peran penting untuk menyatukan pelbedaan masyarakat. Untuk itu, tatanan adat dan istiadat masih dibutuhkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai alat untuk menyatukan keberagaman masyarakat.

Direktur Pascasarjana IAIN Ambon, Prof. Dr. La Jamaa, M.H.I saat memberikan kuliah kepada mahasiswa di Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Maluku Tenggara, Sabtu, 1 Maret 2024.

Sementara Prof Dr La Jamaa, M.H.I pada kuliahnya dengan judul “Urgensi Metodologi Ijtihad dalam Perumusan dan Penemuan Hukum Islam”, mengemukakan metode istinbat hukum Islam agar dapat digunakan oleh masyarakat untuk menemukan hukum suatu perkara/masalah.

Guru Besar yang kini menjabat Direktur Pascasarjana IAIN Ambon ini membagi materinya tentang Ushul Fiqh dalam dua bagian. Pertama urgensi Ushul Fiqh, dan kedua Objek Ushul Fiqh. Objek Ushul Fiqh dibagi menjadi tiga item, masing-masing; Sumber atau Dalil Hukum Islam. Hukum Islam, dan Metode Ijtihad. Itijhad dalam menemukan hukum Islam menggunakan beberapa dalil yang dikelompokan secara rinci, oleh Direktur Pascasarjana, yakni Ijma, Qiyas, Maslahah, Mursalah, Urf, Sadduz, Zari’ah dam Maqasid Syari’ah.

Dijelaskan, banyak masyarakat yang kurang familiar dengan hukum-hukum yang ada di dalam Islam. Kadang, pernyataan para ulama disebutkan sebagai hadist. Sebaliknya, ada hadist diklaim sebagai al-Quran. Hal ini disebabkan karena kurangnya pemahaman masyarakat tentang sumber dan dalil hukum Islam.

Dilanjutkan, ayat al-Quran sendiri masih perlu tafsiran secara rinci. Namun, masyarakat cenderung mengikuti teks, tanpa melihat tujuan dan maksud dari isi al-Quran itu sendiri. Bahkan, ada pernyataan ulama yang dikira teks ayat al-Quran.

Misalnya, tentang hukum wajib sholat. Dikatakan, orang yang tidak memahami ilmu Ushul Fiqh pasti menyatakan pernyataan “sholat lima waktu itu wajib” merupakan teks al-Quran. Padahal, hukum wajib sholat itu, merupakan hasil kajian para ulama terhadap ayat-ayat al-Quran tentang perintah sholat.

Sedianya, untuk memahami Hukum Islam, kata dia, harus memiliki pengetahuan Ushul Fiqh terutama metode istinbat hukum Islam. Apalagi penjelasan hukum Islam dalam al-Qur’an dan hadis, pada umumnya bersifat garis besarnya saja. Karena itu, di tengah awamnya masyarakat, akan menimbulkan multitafsir.

Ungkapan “shalat lima waktu hukumnya wajib,” apakah merupakan bahasa al-Quran, Hadist atau Ulama? Seseorang yang tidak memahami Ushul Fiqh, pasti menyatakan bahasa Quran. “As-sholatul waajibun,” sebenarnya merupakan hasil dari kajian ulama terhadap ayat-ayat perintah salat dalam al-Quran,” urai La Jamaa.

Banyak pula, kata La Jamaa, orang yang suka menganggap suatu amalan sebagai bid’ah, hanya karena kesalahan pemikiran.

Ia lalu memilih perumpaan kata. “Apakah bid’ah suatu amalam yang tidak ada contohnya dari Nabi Muhammad Saw, ataukah tidak ada perintahnya dalam syariat? Jika menggunakan rumus, kalau tidak ada contoh dari Nabi Saw, pasti bid’ah, maka banyak sekali amalan yang dicap sebagai bid’ah,” singkat Profesor Hukum Islam ini.

Misalnya, lanjut Prof La Jamaa, ada yang membaca sholawat lebih dari seribu kali. “Apakah ada contohnya dari Nabi baca salawat 1.000 kali. Tidak ada.” Lantas kemudian dicap sebagai bid’ah. Padahal bersalawat kepada Nabi Muhammad Saw itu merupakan perintah pada al-Quran.

“Sungguh Allah dan malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi Muhammad SAW. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi. Ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”. Sebagaimana tertera dalam Surat Al-Ahzab ayat 56.

“Masa Allah Swt dan malaikat bersholawat kepada Nabi Muhammad SAW, lalu kita yang manusia tidak boleh. Masa hanya karena jumlahnya, lalu dianggap bid’ah dan berdosa. Di sini, mesti digunakan rumus bahwa “bid’ah adalah amalan yang diada-adakan tanpa ada perintah dari syariat” (Al-Qur’an dan atau hadis).

Klaim bid’ah yang keliru itu, terjadi karena tidak memahami metodologi Ushul Fiqh, sehingga hal ini menjadi perdebatan. Jadi, kalau orang memahami metodologi ushul fiqh, maka dia tak akan mudah membid’ahkan amalan orang lain, kata Prof. La Jamaa. (***)