• Oleh | M Kashai Ramdhani Pelupessy
    • Akademisi IAIN Ambon

SALAH satu di antara banyak filsuf yang paling benci terhadap perayaan tahun baru adalah Antonio Gramsci. Dia menganggap perayaan tahun baru itu adalah sesuatu yang dipaksakan secara kolektif. Setiap pergantian tahun baru, banyak orang melakukan refleksi juga resolusi. Toh itu semua sama saja. Tidak ada perubahan yang berarti.

Secara pribadi saya membenarkan pendapat Antonio Gramsci itu. Benar, bahwa setiap tahun selalu kita buat resolusi untuk masa depan. Tapi, ujung-ujungnya ternyata sama saja. Akhirnya kita menyesal karena resolusi yang kita buat itu tidak terealisasi. Jadi, buang saja resolusi itu ke tong sampah. Percuma, tidak ada gunanya sama sekali.

Bagi Gramsci, ia mau setiap hari itu adalah tahun baru. Setiap bangun tidur itulah tahun baru. Ketika Anda bangun pagi itulah tahun baru. Jadi, setiap hari itu anda harus tawarkan resolusi. Apa yang sedang anda buat sekarang? Itulah usaha anda merealisasikan resolusi. Inilah resolusi yang realistis, dibanding merancang resolusi saat pergantian tahun baru tapi ujung-ujungnya sama saja. Utopis.

Gramsci benar. Setiap hari itu adalah tahun baru. Hal ini karena setiap hari kita selalu bersentuhan dengan dialektika kehidupan. Setiap hari kita selalu diperhadapkan dengan masalah yang datang silih berganti. Berubah-ubah. Karena itulah, kita harus membuat suatu pilihan resolusi terbaik untuk setiap harinya, memutuskannya dan merealisasikannya. Jangan tunggu tahun depan, tapi harus saat ini, detik ini, sekarang ini.

Membuat sebuah pilihan resolusi dan memutuskannya untuk dijalani saat ini adalah langkah menjadi “manusia otentik”. Istilah manusia otentik ini secara implisit berasal dari Kierkegaard. Dia menjelaskan bahwa ke-otentik-an manusia itu terletak pada usaha mengambil pilihan dan memutuskannya secepatnya. Dengan begitu manusia menjadi eksis.

Sementara di sisi lain, jika individu selalu mengikuti keputusan orang lain alias “membebek”, maka ia bukan manusia otentik. Bukan manusia eksis. Problem kita sekarang ini adalah “bebekisme” alias membebek pada keputusan orang lain. Ini dalam istilah psikologis adalah minus “self-determination”.

Keputusan individu yang selalu dipengaruhi orang lain cenderung tidak bertanggungjawab di masa depan. Ironisnya lagi, ketika keputusan yang dipengaruhi orang lain itu dia lakukan terus ujung-ujungnya ternyata tidak terealisasi secara maksimal, maka dia akan menyalahkan orang lain tersebut. Ini konsekuensi logis, dimana keputusan yang dia buat itu adalah karena dipengaruhi orang lain. Sebaliknya, jika keputusan manusia itu dia buat sendiri maka dia akan lebih bertanggungjawab atas keputusan tersebut.

Jadi, mengapa ada manusia yang tidak bertanggungjawab? Ini karena keputusan yang dibuat tidak muncul dari “akal budi (nuraninya)” sendiri melainkan karena keputusan itu dipengaruhi orang lain. Dengan kata lain, manusia yang tidak bertanggungjawab itu bukan manusia otentik. Manusia yang tidak bertanggungjawab itu adalah manusia bebekisme alias manusia “follower”.

Membuat dan memutuskan pilihan resolusi setiap hari, karena setiap hari adalah tahun baru, ini adalah usaha menjadi manusia otentik setiap harinya. Ini lebih realistis, dibanding menunggu di ujung baru kita membuat pilihan resolusi. Jadi, jangan terlalu muluk-muluk merencanakan masa depan. Tapi, jalani dulu resolusi yang Anda putuskan saat ini, detik ini.

Masa depan itu “border line” (garis putus-putus) yang kita belum tahu seperti apa kejadiannya. Kita hanya meramalkan saja, tapi ramalan yang kita buat itu berpeluang meleset. Karena itulah, meramalkan masa depan bahwa kita akan menjadi orang baik adalah utopis. Bagaimana mau menjadi orang baik di masa depan, toh sementara ini saja Anda belum menjadi orang baik. Jadilah orang baik untuk sekarang ini dulu barulah kita dapat menjadi orang baik di masa depan.

Masa depan itu sangat tergantung dari apa yang kita putuskan dan kita lakukan sekarang ini, detik ini. Lakukanlah yang terbaik sekarang ini maka akan berbuah kebaikan di masa depan. Ini bisa terjadi apabila kita menganggap setiap hari adalah tahun baru. Kalau kita selalu menganggap bahwa setiap hari adalah tahun baru maka kita akan selalu membuat pilihan resolusi secara otentik untuk setiap harinya.

Tentu resolusi yang kita buat cenderung menjadi orang yang baik setiap harinya. Coba Anda bayangkan, kalau setiap dari kita selalu membuat resolusi setiap harinya maka apa yang terjadi dalam kehidupan? Tentu, kehidupan akan semakin baik. Saya melihat, mengapa kehidupan kita selalu tidak baik? Karena kita cenderung menunggu di ujung tahun baru kita buat resolusi. Ini resolusi yang dipaksakan secara kolektif, bukan resolusi otentik. Sekian (***)