Oleh: Saidin Ernas | Dosen dan Peneliti di UIN A.M. Sangadji Ambon
PIDATO pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. Hasbollah Toisuta di UIN A.M. Sangadji Ambon pada tanggal 14 Juni 2025 lalu yang mengusung konsep “Islam Mazhab Ambon” telah menjadi pemantik diskusi hangat di ruang publik, khususnya di kalangan akademisi dan aktivis keislaman. Tentu saja, sorotan paling tajam datang dari internal kampus UIN A.M. Sangadji sendiri yang dikenal banyak dihuni ilmuan dari berebagai genre keilmuan Islam. Sejumlah kalangan mempertanyakan bangunan teoritis, pendekatan metodologis, hingga pijakan dalil tekstual yang mendasari konsep tersebut. Namun demikian, kritik seperti ini bukanlah hal yang asing dalam tradisi ilmiah, justru menunjukkan bahwa gagasan ini telah berhasil mengundang atensi dan respons intelektual, sebagaimana layaknya setiap tawaran pemikiran baru dalam dunia akademik yang sehat.
Namun sebelum tergesa-gesa menjatuhkan vonis atau membungkusnya dengan stigma, penting untuk membuka ruang apresiasi kritis dan telaah ilmiah yang adil. Sebab, gagasan ini lahir bukan di ruang steril, melainkan dari lanskap sosial-keagamaan Maluku yang sarat dengan dinamika keberagaman, sejarah konflik, serta semangat rekonsiliasi yang belum selesai. Dalam konteks seperti itu, “Islam Mazhab Ambon” patut dilihat sebagai upaya kreatif untuk merumuskan wajah keberislaman yang kontekstual, menyatu dengan realitas masyarakat pluralistik yang telah lama menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaraan antariman. Untuk bisa memahami dan menilai gagasan ini secara utuh, diperlukan kejernihan intelektual, kearifan historis, dan kelapangan horizon berpikir, bukan sekadar kecurigaan normatif yang bersandar pada dikotomi hitam-putih dalam memahami agama.
Islam Mazhab Ambon sebagai Upaya Kontekstualisasi
Apa yang dimaksud dengan “Islam Mazhab Ambon”? Tentu istilah ini bukan merujuk pada mazhab fikih baru sebagaimana empat mazhab klasik (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali), melainkan sebuah pendekatan pemikiran dan praksis keberislaman yang berakar pada pengalaman historis, sosial, dan budaya Islam di Maluku, khususnya Ambon, yang plural dan pernah mengalami luka sejarah konflik. Dalam konteks ini, mazhab dimaknai sebagai manhaj atau metodologi keberislaman yang menekankan pentingnya inkulturasi nilai-nilai Islam dengan tradisi lokal yang menjunjung tinggi harmoni, perdamaian, dan persaudaraan lintas iman.
Prof. Hasbollah tampaknya hendak mengafirmasi bahwa keberislaman di Maluku tidak bisa dilepaskan dari interaksi panjang umat Islam dengan komunitas Kristen dan adat. Dengan demikian, “Islam Mazhab Ambon” bukanlah upaya membelokkan ajaran Islam, tetapi justru bagian dari ijtihad kontekstual—sebuah bentuk tafsir sosial atas Islam dalam lanskap multikultural dan multireligius yang khas.
Gagasan Islam Mazhab Ambon mengingatkan kita pada diskursus yang pernah dikembangkan di Ciputat-Jakarta, yang melibatkan para tokoh dan pemikir besar seperti Prof. Azyumardi Azra, Nurcholish Madjid, dan Harun Nasution, yang mendorong lahirnya apa yang kemudian dikenal sebagai “Islam Mazhab Ciputat,” yakni suatu corak pemikiran Islam yang rasional, kontekstual, pluralis, dan terbuka terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal. Dalam kerangka ini, keberislaman tidak semata-mata tekstual-normatif, tetapi juga dialogis dan humanistik, sesuai dengan maqashid syariah (tujuan utama syariat).
Fenomena inilah yang melahirkan pemikiran serupa dari sejumlah ulama Indonesia dalam konteks pemikiran hukum (fiqh), misalnya pemikiran KH. Ali Yafie melalui bukunya Fiqh Lintas Agama atau KH. Husein Muhammad melalui pendekatan Fiqh An-Nisa’. Keduanya menekankan pentingnya fiqih kontekstual dan keragaman, yakni fikih yang lahir dari kesadaran atas keragaman budaya, suku, dan agama. Bahkan, Prof. KH. Sahal Mahfudh mantan Rais ‘Am Nahdhatul Ulama pernah menawarkan konsep Fiqh Sosial yang ingin mempertegas kehadiran produk fiqih yang mempertimbangkan realitas sosial dan membawa kemaslahatan.
Jika kita mempelajari pesan-pesan umum Al-Quran, maka konsep Islam Mazhab Ambon sebenarnya telah mendapatkan topangan sejumlah dalil tekstual. Sebulah misalnya Q.S. Al-Anbiya 107, “Dan Kami tidak mengutusmu (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” Ayat ini menegaskan bahwa misi utama Nabi Muhammad adalah menghadirkan rahmat, bukan sekadar bagi umat Islam, tetapi bagi seluruh alam semesta, termasuk pemeluk agama lain, budaya lain, dan ekosistem sosial yang majemuk. Demikian juga QS. Al-Hujurat ayat 13, “Wahai manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, lalu Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal…….” Ayat ini menekankan bahwa keragaman adalah takdir ilahi, bukan alasan untuk perpecahan, melainkan dasar untuk menjalin ta’aruf (saling pengertian).
Dari Trauma Konflik ke Mazhab Perdamaian
Maluku adalah tanah yang sarat sejarah dan keberagaman, namun juga menyimpan jejak trauma sosial akibat konflik komunal yang meletus pada tahun 1999 hingga awal 2000-an. Luka kolektif yang ditinggalkan oleh konflik tersebut bukan hanya menyangkut keretakan relasi antarumat beragama, tetapi juga mengguncang fondasi sosial masyarakat yang selama ini dibangun di atas semangat persaudaran. Dalam lanskap yang masih memulihkan diri inilah, gagasan Islam Mazhab Ambon harus dilihat sebagai ikhtiar teologis sekaligus sosiologis untuk merawat dan merekonstruksi harmoni sosial melalui lensa Islam yang kontekstual, inklusif, dan damai.
Konsep ini tentu lahir dari rahim pengalaman local, dari kearifan komunitas Islam Maluku yang sejak lama hidup berdampingan secara historis dan kultural dengan umat beragama lain. Dengan demikian, Islam Mazhab Ambon bukanlah suatu mazhab fikih dalam pengertian klasik, melainkan sebuah pendekatan keberislaman yang menjadikan rekonsiliasi, toleransi aktif, dan dialog lintas iman sebagai prinsip praksis keagamaan. Dalam semangat orang basudara, konsep ini berupaya mengaktualisasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sosial yang plural tanpa menjauh dari nilai-nilai pokok agama Islam itu sendiri.
Jika selama ini kita menerima dan bahkan mendukung keberadaan Islam Nusantara di wilayah Jawa dan Sumatra—sebagai ekspresi keberislaman yang menekankan harmoni budaya dan lokalitas—atau Islam Berkemajuan yang dikembangkan Muhammadiyah sebagai manifestasi rasionalitas dan pembaruan, maka Islam Mazhab Ambon dapat diposisikan sebagai manifestasi keberislaman khas Maluku, yang menyatu dengan semangat pluralisme religius dan solidaritas kultural masyarakat kepulauan.
Di balik gagasan ini terkandung pesan mendalam, bahwa Islam tidak hadir di ruang hampa sejarah dan sosial. Ia hidup, tumbuh, dan berdialog dengan lingkungan tempat ia diamalkan. Dalam teori ushul fikih, kaidah “al-‘ādah muhakkamah” (tradisi yang baik dapat menjadi sumber hukum) menunjukkan bahwa tradisi lokal yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dapat menjadi sumber legitimasi praksis keagamaan. Maka ketika Islam Mazhab Ambon mengangkat nilai-nilai lokal seperti musyawarah, kebersamaan, dan penghormatan antariman sebagai ekspresi iman, hal itu bukan penyimpangan, tetapi wujud kontekstualisasi ajaran yang perlu dikembangkan secara dinamis.
Tentu, setiap gagasan baru mesti diuji dengan kritik dan pengembangan secara berkelanjutan. Ia perlu fondasi teori yang kokoh, metodologi yang transparan, serta artikulasi tekstual yang memadai dari sumber-sumber Islam utama. Tetapi, menutup ruang ijtihad lokal atas nama kekhawatiran puritan justru bertentangan dengan semangat pembaruan Islam yang membuka pintu bagi perbedaan ijtihad, selama tidak bertentangan dengan prinsip tauhid, keadilan, dan kemaslahatan. Gagasan ini bukan sebuah finalitas, melainkan permulaan dari sebuah diskursus besar tentang Islam yang hidup dan berpihak pada perdamaian. Ia bisa menjadi kontribusi berharga dari Timur Indonesia untuk peta keislaman nasional, bahkan dunia yang lebih inklusif, kontekstual, dan merawat keberagaman sebagai berkah, bukan ancaman. Wallahu A’lam..!