Catatan : NS | Dosen UIN AM. Sangadji Ambon

BERBICARA tentang kecerdasan dan kepintaran biasanya terdapat di kampus-kampus, dalam diskusi akademik, ruang debat ilmiah, ataupun ketika duduk menikmati secangkir kopi, sambil bercengkrama dengan teman-teman. Siapa yang cerdas, siapa yang pintar, siapa yang mempunyai retorika bagus dalam setiap percakapan, diselingi dengan teori-teori yang diungkap untuk menandakan bahwa telah membaca banyak referensi dan mengatakan bahwa “saya bicara bukan tanpa data.” Hal tersebut menjadi lumrah dan dirasa wajib, bahwa akademisi, terutama dosen bukan sekedar mengajar dan membimbing mahasiswa saja, tetapi ia harus juga berbicara dalam ruang-ruang akademik, formal maupun tidak formal, juga menulis tentang ilmu dalam bidangnya masing-masing, baik tertuang dalam artikel yang dimasukkan dalam jurnal nasional maupun internasional, juga opini-opini yang dicantumkan dalam media massa atau media sosial. Untuk apa? Mengasah kecerdasan dan kepintaran. Tetapi apakah hanya itu saja? Hal tersebut tergantung dari berbagai perspektif masing-masing orang.

Kampus yang menjadi corong ilmu pengetahuan yang didalamnya setiap dosen dan mahasiswa diwajibkan untuk melakukan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu Pendidikan dan Pengajaran, Penelitian, dan Pengabdian kepada Masyarakat. Tidak luput juga tambahan kegiatan di luar Tri Dharma untuk dijadikan sebagai penunjang dalam pekerjaan dosen. Teringat kata-kata bijak dari Nelson Mandela yang mengatakan bahwa “Education is the most powerful weapon which you can use the change the world”, yang artinya, pendidikan adalah senjata yang paling ampuh untuk mengubah dunia. Seorang Mandela yang dikenal sebagai tokoh kemanusiaan dan perdamaian, yang juga memimpin perjuangan melawan sistem apartheid di Afrika Selatan serta memperjuangkan hak-hak sipil dan kesetaraan rasial bagi orang kulit hitam. Maka dari itu, membahas tentang pendidikan berarti membahas tentang kebutuhan manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia ini dengan segala tetek bengek tantangan dan solusinya.

Pendidikan dan pengajaran, serta penelitian sudah menjadi hal biasa dan wajib dilakukan oleh para dosen, namun untuk kegiatan pengabdian kepada masyarakat, beberapa dosen belum terlalu merasa penting untuk terjun dan berkolaborasi, merasakan, dan berbuat sesuatu, untuk membantu kebutuhan masyarakat. “Diam” atau “menempati” di luar zona nyaman kita seakan membutuhkan energi dan kekuatan yang sangat besar, apalagi apabila hal tersebut dilakukan lebih dari tiga hari.

Seakan tidak merasa penting untuk berlama-lama di suatu tempat/desa pengabdian, melakukan pengamatan secara mendalam, mengimplementasikan ilmu menjadi hal yang bermanfaat untuk masyarakat. Riduan (2016) mengatakan bahwa “secara filosofis, pengertian tentang pengabdian kepada masyarakat dapat berkembang dan dikembangkan, sesuai dengan persepsi dan tergantung pada dimensi ruang dan waktu.” Koswara (1989) pun menyatakan bahwa pengabdian kepada masyarakat oleh perguruan tinggi adalah pengamalan IPTEKS yang dilakukan oleh perguruan tinggi secara melembaga melalui metode ilmiah langsung kepada masyarakat yang membutuhkannya, dalam upaya mensukseskan pembangunan dan mengembangkan manusia pembangunan menuju tercapainya manusia Indonesia yang maju, adil dan sejahtera. Lalu bagaimana dengan implementasi kegiatan pengabdian dosen kita saat ini? Apakah sudah merasa “butuh” untuk melakukan pengabdian yang tiada berujung di desa-desa ataupun di daerah perkotaan tanpa pamrih?

Saya ingin mengambil contoh beberapa kasus saja dari banyak kasus di Maluku. Ketika terjadi konflik sosial “tapal batas” di Seram bagian utara, dan telah menghanguskan beberapa rumah di Masihulan dan juga beberapa di Huaulu, yang hampir atau bahkan telah menjadi isu pemicu pertikaian agama dengan menggunakan embel-embel kata “jihad”, dan dibuat semakin parah dengan bebasnya tulisan, opini, dan komentar di media sosial, yang sulit dibendung dari dan oleh masyarakat itu sendiri. Juga adanya ricuh penolakan tambang di Desa Haya sehingga warga marah, membuat sasi, dan juga sampai pada tingkat pembakaran fasilitas kantor. Belum lagi persoalan di desa Piliana, Hatu dan Hatumete serta desa-desa lainnya di Kecamatan Tehoru dan Telutih, masyarakat diresahkan dengan tancap pal batas penataan Kawasan hutan tanpa izin, sehingga masyarakat adat geram karena tidak adanya koordinasi dan sosialisasi dari pihak mana pun termasuk dari pihak BPKH Provinsi Maluku.

Belum lagi, persoalan lingkungan di desa Tehoru, dari beberapa tahun lalu, kapal-kapal tongkang yang sandar dan lego jangkar di pesisir Tehoru menghabiskan tanpa ampun terumbu karang sebagai biota laut untuk kebermanfaatan manusia. Kapal-kapal tongkang yang setiap minggunya rutin datang dan pergi dari Tehoru. Belum lagi di daerah pesisir Seram bagian barat, pertambangan baru pun muncul, dan mulai dirasakan sisi negatifnya oleh masyarakat. Seakan pro dan kontra itu adalah sebuah kewajaran dari berbagai persoalan tambang tanpa menelisik akar dari persoalan yang muncul. Belum lagi di daerah lainnya, yang masih rawan lingkungan dan sosial. Masalah pendidikan pun yang rasanya masih jauh dari kata sempurna, pada sekolah-sekolah di pelosok, juga pada masyarakat indigenous people di pedalaman.

Sampai kapan mereka akan menerima “pendidikan” yang katanya akan mencerdaskan kehidupan bangsa. Baru beberapa minggu kebelakang ini, seorang almarhum Firdaus, pendaki asal Bogor yang membongkar rasa kemanusiaan orang Maluku dari berbagai desa dan kota untuk turut serta membantu pencarian dan evakuasi sehingga Firdaus dapat disemayamkan di tempat asalnya. Firdaus membongkar pola sistem yang carut marut baik dalam sisi kepemerintahan, sisi kemanusiaan, dan rasa egois “keakuan” yang masih menempel pada beberapa orang di tanah Maluku. Semua belajar dan mendapatkan pelajaran dari Firdaus.

Dari sebagian kecil kasus yang ditulis ini, apakah relevan dengan ayat Al-Quran, QS. Ar-Rum (30): 41, Allah SWT berfirman: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. Kerusakan eksistensi sumber-sumber kehidupan dan semakin maraknya ketidakadilan, kerakusan manusia, ketidakpedulian satu dengan yang lainnya, menambah kisruh kehidupan manusia itu sendiri.

Lalu dimanakah akademisi kita, yang belajar dari ratusan buku, membaca dan menulis ribuan artikel penelitian, menjadi pembicara nasional dan internasional di berbagai forum bergengsi? Apa langkah preventif yang musti kita lakukan secara bersama, gotong royong, kolaborasi, dan menghidupkan kembali rasa kemanusiaan kita tanpa melihat suku, bangsa, agama, dan ataupun ras yang mungkin saja sudah punah ditelan waktu? Kita makan, minum, mendapatkan sesuatu yang baik, dan hidup di tanah Maluku, maka kita juga sepatutnya bermanfaat untuk Negeri Maluku, untuk masyarakat Maluku.

Hal ini selaras dengan yang dikemukakan oleh Watloly (2024) bahwa, sebuah kecerdasan kolektif masyarakat kepulauan Nusantara yang membentuk pola-pola pemikiran dan pola-pola keyakinan untuk saling mempercayai dan saling menghargai satu dengan yang lain. Rasio asli masyarakat kepulauan Nusantara yang menjadi rasio kolektif bersama itu oleh Soekarno disebut rasio gotong royong yang menjadi saripati dari Pancasila. Kita sebagai pelaku dalam pengabdian kepada masyarakat, perlu untuk meresapi mikrokosmos masyarakat kepulauan, yang pada saatnya akan memberikan suatu identitas bersama, simbol pemersatu, serta modal sosial, dari generasi ke generasi. Ada suatu ungkapan, manusia tidak bisa hidup tanpa alam, hal ini dapat menjadi konsep menyeluruh dari alam semesta dan kepulauannya serta substansi pengkosmos kepulauan nusantara yang infrahuman, yang biotis, flora, fauna, psikis, material-immaterial, kuantitatif-kualitatif yang majemuk sebagai suatu kesatuan alam semesta yang utuh, tertata dan teratur.

Perbedaan akan terus abadi, namun harmoni dalam perbedaan adalah suatu keniscayaan dalam hidup dan kehidupan. Sebagai manusia, kita perlu menyadari bahwa kita adalah manusia yang saling membutuhkan dan saling mendukung satu dengan yang lainnya. Dan sebagai penutup, inilah pertanyaan untuk diri kita masing-masing, masihkah kita para akademisi mempunyai jiwa yang semangat dan bergelora dan merasa butuh untuk turun ke desa-desa atau perkotaan di Maluku, menikmati setiap detaknya alunan irama kehidupan yang ada, mengeksplor lebih dalam setiap hal, dan menjadi bermanfaat untuk masyarakat? Bukankah sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi lainnya?
Wallahu’alam bisshowwab.