SAAT saya nongkrong pada salah satu kafe di kota Ambon, saya menemukan fenomena menarik. Sebagaimana kafe-kafe pada umumnya, setiap obrolan yang tampak ada sangat cair sekali. Ada yang ngomong soal ekonomi, politik, kondisi sosial, hingga persoalan kehidupan lainnya. Dari sekian banyak obrolan itu, hanya satu fenomena yang membuat hati saya tersentak kaget. Fenomena ini terkait maraknya prostitusi online (Open BO) yang dilakukan sebagian anak-anak muda di kota Ambon, Maluku.

Ungkap salah satu teman saya bahwa ‘open BO’ ini paling banyak dilakukan melalui aplikasi MiChat. Saya lalu diperlihatkan bagaimana proses transaksi jual-beli kenikmatan seksual itu dilakukan melalui aplikasi tersebut. Aksesnya sangat longgar, cepat, dan miris. ‘Open BO’ (booking out) merupakan istilah yang kerap dilekatkan pada kerja penyedia jasa layanan seksual melalui online. Gampangannya, siapa saja boleh memuaskan hasrat seksualnya, tinggal memesannya lewat MiChat. Kira-kira seperti itulah kerja ‘open BO’.

Karena penasaran, saya coba searching di mbah Google dengan kata kunci ‘open BO’. Informasi yang saya peroleh sangat bejibun jumlahnya. Informasinya tak hanya seputar pemberitaan, bahkan ada juga yang sudah meneliti tentang fenomena tersebut. Riset-riset tentangnya sudah dilakukan sejak tahun 2014 lalu. Ini menunjukkan bahwa fenomena tersebut bukanlah barang baru. Selain itu, ia juga muncul bukan tanpa sebab. Banyak orang mengira bahwa ‘open BO’ menjadi sangat marak terjadi belakangan ini karena pasca ditutupnya beberapa lokalisasi dan efek dari pandemi Covid-19.

Bagi saya, itu memang salah satu faktor yang membuat ‘open BO’ semakin masif akhir-akhir ini. Namun, di satu sisi, kita perlu juga mendalami mengapa ‘open BO’ itu muncul? Mengapa terjadi di kalangan anak muda? Bagaimana solusi mengatasinya? Bagi saya, fenomena ‘open BO’ ini ibarat gunung es. Jika kita perhatikan gunung es, yang tampak di permukaan laut hanyalah gundukan es kecil saja, tapi di dasar laut menyimpan bongkahan es yang lebih besar lagi. Artinya, penyebab munculnya ‘open BO’ ini tidak tunggal. Ada pola, struktur dan mental model (keyakinan) dibalik itu semua.

Tulisan ini mencoba menyelami ke dasar laut, sembari melihat bongkahan es yang lebih besar yakni apa pola, struktur dan mental model yang menjadi sebab munculnya fenomena tersebut ke permukaan. Setelah menyelami, tentu selanjutnya adalah bagaimana tawaran solusi mengatasi semua itu? Melalui rethinking, redesigning, reframing dan reacting, tulisan ini mencoba memberi solusi konkrit mengatasinya. Mari kita cek satu persatu.

Kita mulai dari pola yang membentuk munculnya fenomena tersebut. Pola ini terkait kebiasaan atau perilaku yang tampak ada, diperlihatkan oleh anak-anak muda yang terlibat dalam kerja ‘open BO’. Saya melihat kebiasaan anak muda dengan gaya hidup glamor, pergaulan bebas, dan ketakutan tertinggal dari teman-teman lainnya, ini semua menguatkan inisiatifnya terlibat dalam kerja ‘open BO’. Sekilas kita melihat pola-pola itu, cenderung kita akan menyalahkan mereka para anak muda. Tapi, apa yang membuat pola atau trend itu muncul adalah karena dikuatkan oleh struktur dibaliknya.

Struktur yang menguatkan pola-pola tersebut adalah, pertama karena kebijakan yang kurang gercep dalam pengentasan kemiskinan. Ditengah situasi miskin, ini tidak selaras dengan keterbukaan masuknya dunia usaha fashion dan teknologi (handphone bermerek) ke kota Ambon. Untuk membeli baju di mall misalnya, uang yang dikeluarkan berkisar antara 200an ribu ke atas. Sementara disatu sisi, status ekonomi keluarga dari para anak muda tampak sulit memenuhinya. Olehnya itu, demi memenuhi gaya hidup glamor ditengah situasi kemiskinan, salah satu jalan keluarnya adalah dengan memilih kerja ‘open BO’.

Kedua, rendahnya kerjasama pemerintah dengan orang tua dalam hal penguatan pola asuh demokratis untuk membentuk ‘character strength’ anak-anak muda. Tanpa kekuatan karakter, anak muda akan terus terlibat dalam kerja ‘open BO’. Apalagi fenomena itu paling dominan dilakukan oleh remaja perempuan, kalau tidak dipoles kekuatan karakternya kemungkinan besar mereka tidak punya penolakan untuk masuk ke dalam kerja-kerja ‘open BO’.

Ketiga, minimnya pendidikan moral oleh lembaga pendidikan kepada anak-anak muda. Saya mencermati, anak-anak muda yang terlibat dalam kerja ‘open BO’ ini paling besar adalah berlatarbelakang pelajar, baik itu masih status siswa maupun mahasiswa. Tampaknya orientasi lembaga pendidikan hanya pada peningkatan kognitif. Kecerdasan itu seolah-olah hanya tentang kognitif saja. Padahal, kecerdasan itu luas. Tidak hanya tentang kognitif, tapi juga ada kecerdasan moral bahkan spiritual. Ketidakpedulian pada pendidikan moral ini tentu berefek pada munculnya fenomena ‘open BO’ yang dilakukan anak-anak muda berstatus pelajar.

Menurut saya, ketiga struktur itu yang paling menguatkan atau memfasilitasi gaya hidup glamor, pergaulan bebas dan ketakutan tertinggal dari yang lain, sehingga membuat anak muda terlibat dalam kerja ‘open BO’ di kota Ambon. Tentu masih ada banyak struktur lainnya, mungkin para pakar di Maluku perlu merumuskannya sendiri. Pola dan struktur itu pun juga tidak bisa berdiri sendiri. Pasti ada mental model dibalik semua itu, yang turut menguatkan seseorang bertindak ‘open BO’. Mental model ini terkait keyakinan atau paradigma yang dimiliki anak muda sehingga mau terlibat dalam ‘open BO’.

Saya melihat ada semacam keyakinan materialistik dari anak-anak muda, bahwa kehidupan yang paling menyenangkan itu adalah terpuaskan hasrat hidup kaya dan tenar di mata teman-teman mereka. Kalau suatu tindakan sudah berangkat dari keyakinan yang kuat, maka sulit bagi kita untuk menghentikannya. Apalagi keyakinan semacam itu difasilitasi oleh pola dan struktur sebagaimana ulasan di atas, yakni hidup glamor ditengah kemiskinan, maka ini tentu semakin menguatkan keterlibatan anak muda dalam kerja ‘open BO’.

Bagi saya, itu masalah yang cukup krusial untuk diatasi. Beberapa solusinya adalah pertama melakukan rethinking, yakni bagaimana upaya kita membongkar keyakinan anak muda bahwa kehidupan yang menyenangkan itu tidak selamanya terkait terpenuhinya hasrat hidup kaya dan tenar di mata orang lain. Kedua, redesigning adalah terkait struktur yang bermasalah. Bahwa kemiskinan perlu diatasi secepatnya melalui kebijakan yang adil, penguatan karakter, serta pendidikan moral perlu diupayakan maksimal.

Ketiga, reframing tentang trend gaya hidup glamor ini perlu diluruskan. Bahwa yang disebut gaya hidup glamor ini adalah lebih pada glamor prestasi bukan glamor penampilan semata. Keempat, reacting yakni mengupayakan munculnya tindakan baru bahwa kerja ‘open BO’ ini bermasalah, sehingga tidak perlu untuk melakukannya. Yang harus dilakukan anak muda adalah peningkatan prestasi, maksimalkan skill, dan memperkuat moralitas demi menjemput masa depan yang cerah. (***)