- Oleh: Arman Kalean, M.Pd | Akademisi
KITA telah menyimak debat perdana Capres 2024 pada 12 Desember 2023 lalu. Tiap Capres begitu sungguh-sungguh menjawab pertanyaan acak yang dipilih oleh para Panelis, termasuk sesi saling melempar pertanyaan dan merespon, di antara ketiganya.
Meski pada debat pertama ini, belum spesifik mengangkat tema Pendidikan, tapi di beberapa celah argumentasi, para Capres juga telah menopang narasi mereka dengan beberapa permasalahan terkait dunia pendidikan.
Diketahui, tema pada debat kali ini spesifik pada Pemerintahan, Hukum, HAM, Pemberantasan Korupsi, Penguatan Demokrasi, Peningkatan Pelayanan Publik, dan terakhir Penanganan Disinformasi dan Kerukunan Warga.
Sementara itu, tema tentang Pendidikan sendiri dijadwalkan akan muncul pada debat kelima. Debat tersebut masih diikuti oleh Capres, sesuai jadwal KPU, untuk debat 1, 3, dan 5 dihadiri oleh Capres. Sisanya, debat dilangsungkan untuk para Cawapres.
Beberapa sentilan pendidikan yang disinggung saat debat pertama, berkaitan dengan tema yang diusung, akan coba saya wacanakan berdasarkan alur rekam digital.
Sentilan Pendidikan oleh Ganjar Pranowo
Sejak Ganjar Pranowo diberikan kesempatan berbicara awal. Ganjar lalu menuturkan alur perjalanan dari Sabang hingga Papua. Namun, secara jelas, Ganjar menyebut persoalan pendidikan pada saat Ia di Sabang dan di NTT.
Di Sabang, Ia menekankan harus ada perhatian bagi Guru-guru Agama dengan memberikan insentif kepada mereka. Tujuannya agar para Guru selain mengajarkan Budi Pekerti luhur, mereka juga mengajarkan Moderasi Beragama.
Selanjutnya, di NTT, Capres dengan ciri khas Rambut Putih itu memberi penakanan teknis pada Pendidikan Vokasi. Pandangannya itu muncul saat Ia bertemu dengan Anak Muda yang ada di sana. Para Anak Muda itu menanyakan mengenai akses untuk dapat pekerjaan, yang merupakan hak mereka. Selain itu, berdasarkan pengamatannya di NTT, Ganjar ingin menggratiskan internet di Sekolah-sekolah.
Baik, kita mulai dari Sabang. Bila melihat dari data demografi, ada 98,53% jumlah populasi penduduk Islam. Sisanya Kristen Protestan, Katolik, dan Budha. Menurut laporan versi Setara Institute, Sabang bersama Banda Aceh, dan Lhokseumawe, serta 7 Kota lainnya, termasuk 10 besar kota intoleran. Dugaan saya, barangkali Ganjar juga telah melihat ragam informasi ini dan mencoba mengangkatnya ke permukaan saat debat.
Semoga perlakuan ini tidak khusus hanya pada Guru-guru Agama yang ada di Sabang saja, atau pada 9 Kota intoleran lainnya, melainkan menyeluruh kepada seluruh Guru-guru Agama di Indonesia, bila Ia terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia nanti.
Sedangkan di NTT, untuk pendidikan vokasi, akan saya ulas belakangan. Sebab Ganjar juga menguatkan pandangannya tentang pendidikan vokasi dalam sesi saling tanya, saat menanggapi pertanyaan dari Capres Prabowo Subianto.
Sementara untuk internet gratis di sekolah-sekolah, ini merupakan langkah yang harusnya lebih diseriusi. Walaupun bukan hal baru, karena Mas Menteri Nadiem juga pernah memberikan paket internet gratis saat pembatasan sosial akibat pandemic Covid 19 baru-baru lalu. Ide Ganjar tentang internet gratis di Sekolah, hemat saya barangkali pada saat pembelajaran offline di sekolah. Berbeda dengan yang dilakukan oleh Mas Menteri Nadiem, saat pembelajaran yang memang diharuskan online (dalam jaring).
Dengan begitu, yang diharapkan dari internet gratis ini, bukan hanya di sekolah dengan layanan WiFi gratis saja. Tapi juga internet gratis dalam bentuk paket gratis saat Peserta Didik berada di rumah. Hal ini mengingat model pembelajaran semisal Flipped Learning sebagai salah satu model umum yang familiar dengan pembelajaran di Negara Maju, yang gambaran singkatnya yaitu membalikan aktivitas belajar di rumah dan kerja PR di sekolah, akan mengharuskan Murid untuk terus belajar dengan layanan internet gratis di rumah.
Di sisi lain, harapan saya, sentilan Ganjar Pranowo jangan sampai dibaca termasuk ke dalam sarkasme yang dibalut sebagai murni narasi perbaikan pelayanan di sekolah. Kita tahu bahwa beberapa waktu lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika ditahan karena kasus korupsi proyek BTS 4G.
Dan, Menteri Johnny Gerard Plate adalah putera kelahiran Ruteng, Flores, Nusa Tenggara Timur. Plate juga termasuk kader salah satu Partai yang mengusung Capres Anies Baswedan.
Sentilan Pendidikan oleh Anies Baswedan
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini menyentil pendidikan saat sesi saling tanya. Pertama, saat memberi pertanyaan soal etika pasca keputusan Mahkahmah Konstitusi (MK), kepada Capres Prabowo Subianto. Diketahui, keputusan MK itu yang akhirnya memberi angin segar secara langsung bagi Gibran untuk maju sebagai Cawapres.
Setelah Prabowo menjawab, lalu diberikan kesempatan kepada Anies untuk merespon. Anies menyinggung fenomena orang dalam (Ordal) yang kerap terjadi di mana-mana, termasuk pengalamannya bercerita dengan para Guru honorer. Ia mengisahkan Guru-guru menyampaikan kepadanya bahwa, “untuk diangkat menjadi Guru, harus punya Ordal, di Jakarta saja ada Ordal”, tutur Anies. Menurut saya, Mungkin yang dimaksud adalah pengangkatan sebagai Guru PPPK.
Tentu sebagai orang yang pernah menyeriusi pendidikan, sejak gerakan Indonesia Mengajar yang diinisiasi olehnya, hingga menjabat Mendikbud, Anies memang piawai menyentil pendidikan. Hanya saja, penting sebagai ingatan bersama, sewaktu Anies menjabat, kebijakan mengenai pengangkatan Guru Garis Depan (GGD) yang mungkin terinspirasi dari Indonesia Mengajar tersebut, telah memberi kesan kurang mengenakan terhadap Lembaga Perguruan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang ada di Provinsi, daerah sasaran GGD.
Pasalnya, proses seleksi rekruitmen GGD itu berada di luar kendali LPTK yang masuk daerah domisili. Sebut saja Maluku, Calon GGD yang diseleksi oleh LPTK di Yogyakarta dan di Sulawesi untuk Mata Pelajaran tertentu yang sebenarnya sudah ada alumni S1 dengan spek ijazah tersebut dari sejumlah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Universitas Pattimura, Universitas Darusalam, dan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan di IAIN Ambon. Toh, mengapa LPTK yang ada di Maluku saja, yang diberi kewenangan untuk proses perekrutan rekritmen Calon GGD tersebut.
Memori kolektif dari Praktisi pendidikan di Maluku, akan sulit melupakan begitu saja kebijakan waktu itu. Dengan kata lain, Anies pada waktu itu, meragukan kualitas output S1 Pendidikan yang ada di Kawasan sasaran GGD. Hingga harus diambil alih oleh LPTK yang ada di luar, bagi saya ini membekas sebagai suatu kekecewaan masa lalu, biar berhenti di sana.
Kedapan, bila Anies Basweda jadi Presiden, semoga ada semacam kebijakan rolling professor atau rolling teacher secara berkala untuk yang mau jadi Profesor, juga untuk Guru-guru yang hendak dipromosikan jabatannya. Biar para calon Profesor dan Calon Pejabat jenjang Guru Sekolah di Jawa, bisa merasakan bagaimana mengajar dan mendidik Peserta Didik di Kawasan Timur Indonesia, termasuk Maluku.
Selanjutnya, sentilan pendidikan oleh Anies Baswedan saat ditanya oleh Ganjar Pranowo tentang pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimatan. Anies lalu membandingkan ada banyak sekolah rusak berat, yang butuh perbaikan di Kalimantan. Sederhananya, Anies hendak menegaskan bahwa lebih penting merenovasi Sekolah-sekolah tersebut, ketimbang membangun IKN yang katanya sebagai tempat beraktivitas ASN semata.
Pandangan Anies tersebut sepintas sebanding dengan kebutuhan mendesak. Hanya saja, saya melihat ada sarkasme yang ikut juga di dalamnya. Bila dicermati, Anies menyinggung IKN yang dilandasi UU, yang tidak melalui uji publik.
Kalau mau lebih detil, selain melihat potensi Banjir yang pernah merusak 1.358 sekolah di Kalimantan (lihat: Kompas edisi 22 Januari 2021), terdapat juga informasi yang menerangkan bahwa Sekolah SD yang rusak parah itu kebanyakan terjadi di daerah pedalaman. Karena berada di daerah pedalaman dengan kondisi sulit membawa material, maka kontraktor juga ada yang mundur dari pengerjaan proyek. Disamping itu, ada banyak bangunan sekolah yang sudah termakan usia (lihat: Kaltim Post edisi 21 Juli 2023).
Dari situ, Anies yang kelihatan paling menonjol dengan retorika akademis itu, mestinya menjelaskan peruntukan anggaran untuk dua hal tersebut sudah ada dan berbeda pos anggaran kementerian. Tidak sekedar melakukan semacam echo chamber atau mengulang-ngulang keyakinannya pada ruang tertutup dengan gema yang lebih luas di dalam debat. Atau, dengan meminjam istilah akademis, Anies hanya lebih banyak purposive sampling dalam menguatkan argumentasinya. Ia hanya mengambil part atau bagian tertentu saja untuk membangun narasi tentang infrastruktur manakah yang harus didahulukan. Padahal, belum tentu sebanding.
Namun, bagaimanapun, Anies Baswedan harus diapresiasi karena telah berani mendahulukan renovasi Sekolah daripada membangun IKN. Suatu revolusi berpikir yang berani, semoga keputusan memutus proses yang sedang berjalan dan sudah mengeluarkan uang banyak, yang belum mencapai target, jangan lekas-lekas diberhentikan, seperti pada penyetopan Kurikulum 2013 saat Ia menjabat Menteri.
Sentilan Pendidikan oleh Prabowo Subianto
Menteri Pertahanan yang sudah tiga kali maju sebagai Capres ini, tidak banyak menyentil pendidikan saat debat Capres perdana. Terekam, Prabowo baru serius menyentil saat sesi saling tanya. Prabowo menanyakan pada Ganjar Pranowo bagaimana mengatasi pengangguran dari lulusan-lulusan sekolah dan sarjana yang belum tertampung.
Ganjar merespon dengan cukup panjang soal pendidikan vokasi. Rupanya Ganjar terlihat punya pengalaman yang cukup baik tentang ini. Ia secara apik menjelaskan pengalamannya mengelola Kawasan industri di Kendal yang telah melakukan kerja sama dengan seratusan lebih sekolah vokasi, selain akan ada lagi di Kawasan industri Batang.
Keabsahan tuturan Ganjar, bukan berlebihan. Tinggal memastikan apakah benar angka seratusan lebih yang dibilang Ganjar, benar adanya. Pada laman kemdikbud.go.id edisi 12 Agustus 2022, tercatat Kemendikbudristek telah menandatangani kerja sama baru dengan 11 Industri di Kawasan industri Kendal.
Saya berprasangka baik, bahwa mungkin di tahun sebelumnya dan tahun ini, telah banyak jumlah sekolah vokasi yang lebih dulu menjalani kerja sama dengan berbagai industri di Kawasan Kendal, sehingga jumlahnya sudah seratusan lebih. Lebih lanjut, Ganjar berencana akan menggratiskan pendidikan vokasi 12 Tahun, dan ada tindakan afirmasi untuk 1 keluarga miskin, agar 1 Anaknya bisa kuliah gratis hingga selesai di Perguruan Tinggi.
Prabowo kemudian merespon dengan menyatakan bahwa Ganjar secara tidak langsung menyetujui kebijakan Presiden Jokowidodo selama ini yang berkaitan dengan Kawasan industri. Dan, Ganjar pun secara eksplisit mengakuinya sekaligus menerangkan kerja samanya sebagai kepanjangan Negara di Daerah.
Saya melihat, ada kesejalanan ide hilirisasi industri dengan keterserapan alumni sekolah vokasi. Tinggal bagaimana cara agar Anak-anak pada sekolah vokasi itu jangan hanya magang saja di perusahaan-perusahaan tersebut, tapi benar-benar bekerja di sana setelah tamat belajar.
Bila Prabowo menjadi Presiden dan setuju dengan paparan Ganjar, maka harus dibuat Kepres atau Perpres, selain regulasi yang telah ada, yang menjadi acuan turunan Program Kerja Sama (PKS) yang telah dibuat, atau akan dibuat nantinya bersama Perusahaan itu, harus secara jelas dan tegas memastikan alumni sekolah vokasi dapat bekerja di perusahaan.
Letak Pendidikan yang Lekat dengan Berbagai Persoalan
Lepas dari itu, gambaran di Sabang dan di NTT oleh Ganjar Pranowo, tanggapan oleh Anies baswedan, dan pertanyaan oleh Prabowo Subianto, kesemuanya itu tentu masih berkaitan dengan tema Peningkatan Pelayanan Publik dan tema Penanganan Disinformasi dan Kerukunan Warga. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga Capres telah meletakan pendidikan dalam tema yang dibahas pada debat perdana, patut kita beri apresiasi positif.
Walaupun, kalau dipikir-pikir, tema yang ada di debat pertama ini, sebenarnya bisa dilekatkan isu pendidikan di dalam beberapa tema lainnya. Misalnya untuk Pemberantasan Korupsi, ada Pendidikan Anti Korupsi yang belum kita evaluasi secara serius selama ini. Baik sebagai hidden curriculum (kurikulum tersembunyi) di Sekolah, ataupun muncul sebagai Mata Kuliah di Perguruan Tinggi.
Harapan-harapan tentang perbaikan pendidikan kepada tiap Capres yang telah diulas, idealnya juga diberlakukan untuk ketiga Capres yang sementara berproses. Seturut disentil juga pendidikan pada debat-debat berikutnya oleh Capres dan Cawapres, mengingat problem pendidikan bisa diletakan pada berbagai tema, serta lebih tegas dan terukur pada debat yang terakhir nanti. Semoga. (***)